RI Masuk Lima Besar Negara dengan Perekonomian Paling Berkontribusi untuk Ekonomi Dunia
Kontribusi perekonomian Indonesia lebih tinggi dari Jerman, Jepang, bahkan Rusia
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Indonesia masuk ke dalam lima besar negara penggerak ekonomi dunia untuk periode 2023-2028. Hal ini diberitakan Bloomberg dan Global Times beberapa waktu lalu. Nomor wahid negara penggerak ekonomi dunia adalah Cina, dengan perhitungan kontribusi sebesar 22 persen.
Indonesia berada di posisi empat, setelah Cina, India, Amerika Serikat. Kontribusi India dan AS masing-masing sebesar 12,9 persen dan 11,3 persen. Sedangkan kontribusi Indonesia 3,6 persen kepada ekonomi dunia.
Kontribusi Indonesia ke perekonomian dunia ini lebih tinggi daripada Jerman, Turki, Jepang, bahkan Rusia. Padahal Indonesia hanya masuk dalam kategori negara berkembang. Keempat negara maju ini, level kontribusi perekonomiannya ke tingkat pertumbuhan dunia di bawah tiga persen, bahkan satu persen.
Bloomberg pada Maret lalu menulis, Cina memang bakal menjadi kontributor utama pertumbuhan global lima tahun ke depan. Kontribusi Cina itu lebih besar daripada negara-negara G7 sekalipun. Negara-negara G7 hanya berkontribusi 20 persen kepada ekonomi dunia. Sementara level kontribusi Cina nyaris dua kali lipat dari AS, yang sebesar 12 persen.
Dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia, akhir pekan lalu Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan bahwa prospek ekonomi global pada dua tahun mendatang akan meredup, seiring dengan kondisi global yang penuh dengan ketidakpastian. Hal itu kaitannya dengan terpilihnya Presiden AS Donald Trump dengan berbagai kebijakan yang bisa berdampak negatif bagi Indonesia.
“Dunia terus bergejolak, terpilihnya kembali Presiden Trump di AS dengan kebijakan America First dapat membawa perubahan besar pada landscape geopolitik dan perekonomian dunia, tarif tinggi, dan bahkan perang dagang, ketegangan geopolitik, disrupsi rantai pasok dagang, fragmentasi ekonomi dan keuangan.
Akibatnya, prospek ekonomi global akan meredup pada 2025 dan 2026,” ungkap Perry dalam agenda Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) bertajuk ‘Sinergi Memperkuat Stabilitas dan Transformasi Ekonomi Nasional’ yang digelar di Kompleks BI, Jakarta, Jumat (29/11/2024).
Lebih lanjut, Perry menerangkan bahwa ketidakpastian global akan semakin tinggi dengan adanya lima macam karakteristik. Pertama, slower and divergent growth. Menurut penuturannya, pertumbuan dunia akan menurun pada 2025 dan 2026 yang mana AS akan bergerak membaik, sedangkan China dan Eropa akan melambat. Sedangkan India dan Indonesia disebut masih cukup baik.
“Kedua, reemergency of inflation pressure. Penurunan inflasi dunia akan melambat, bahkan berisiko naik pada tahun 2026. Karena gangguan rantai pasok dan perang dagang,” tuturnya.
Lalu ketiga, higher US interest rate. Penurunan Fed Fund Rate (FFR) akan lebih rendah. Sementara US Treasury akan naik tinggi ke 4,7 persen pada 2025 dan 5 persen pada 2026. Itu karena membengkaknya defisit fiskal dan utang pemerintah Amerika.
“Keempat, strong dollar. Dollar Amerika menguat dari 101 ke 107, mengakibatkan tekanan depresiasi nilai tukar seluruh dunia, termasuk rupiah. Semoga dolar Amerika tidak menguat lagi,” lanjutnya.
Kelima, invest in America. Itu merupakan preferensi yang berkembang di investor global. Akibatnya terjadi pelarian modal dari emerging market ke Amerika, karena tingginya suku bunga dan kuatnya dolar.
“Kelima gejolak global tersebut berdampak negatif ke berbagai negara, Indonesia tidak terkecuali. Perlu kita antisipasi, kita waspadai dengan respons kebijakan yang tepat untuk ketahanan dan kebangkitan ekonomi nasional yang telah susah payah kita bangun,” terangnya.
Kendati prospeknya cukup diwaspadai, Perry optimistis ekonomi Indonesia dapat terus tumbuh dan mampu menangkis segala tantangan akibat ketidakpastian global yang terjadi ke depan.
“Dunia masih terus bergejolak, akankah Indonesia berdaya tahan seperti selama ini? Kita harus optimis, mari kita perkuat sinergi untuk melindungi negara, bangsa, dan rakyat dari gejolak global,” kata Perry.
Perry mengatakan, perlunya memperkuat stabilitas dan transformasi ekonomi nasional, khususnya dalam lima area penting. Kelima area urgent itu adalah sinergi memperkuat stabilitas makro ekonomi dan stabilitas sistem keuangan, sinergi mendorong permintaan domestik khususnya konsumsi dan investasi, dan sinergi meningkatkan produktivitas dan kapasitas ekonomi nasional.
Lalu, sinergi pendalaman keuangan untuk pembiayaan perekonomian serta sinergi digitalisasi sistem pembayaran dan ekonomi keuangan digital nasional.