Suriah Memanas Lagi, Menko Polkam: Aktivitas Terorisme Global Tunjukkan Tanda Bangkit
Menko Polkam sebut situasi di Suriah mengkhawatirkan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik dan Keamanan (Polkam) Jenderal Polisi Purn. Budi Gunawan menyebutkan dalam perkembangan saat ini aktivitas terorisme global menunjukkan berbagai tanda kebangkitan.
"Ini ditandai dengan radikalisasi generasi muda yang menggunakan isu genosida, Israel di Gaza, kemudian Hizbullah di Lebanon, dan kelompok proksi Iran di Suriah," kata Budi dalam acara Publikasi I-KHUB BNPT CT/VE Outlook 2024 dan Peta Jalan Komstra PE di Jakarta, Selasa (3/12/2024).
Maka dari itu, dia menilai perkembangan tersebut perlu terus dicermati bersama dan diantisipasi agar tidak memengaruhi dan membangkitkan kelompok teror atau sel-sel teror yang berada di Indonesia.
Dari hasil pantauan Kementerian Koordinator Bidang Polkam, kata dia, berbagai faksi jihad di Suriah saat ini sedang melakukan serangan ofensif ke kota Aleppo dan terus meluas sampai dengan ke Provinsi Hama.
Budi mengemukakan bahwa dinamika dan situasi keamanan di Suriah saat ini sangat mengkhawatirkan, mengingat masih banyak warga negara Indonesia (WNI) yang ditahan serta terisolasi di Suriah dan Iran, termasuk perempuan dan anak-anak yang sekarang berada di kamp pengungsi Al-Hol.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyerukan penghentian segera pertikaian di tengah eskalasi kekerasan yang terjadi baru-baru ini di Suriah, demikian disampaikan Juru Bicara (Jubir) Sekjen PBB Stephane Dujarric pada Senin (2/12/2024).
Guterres khawatir dengan eskalasi kekerasan yang terjadi baru-baru ini di wilayah Suriah barat laut, ungkap Dujarric dalam sebuah konferensi pers harian. S
BACA JUGA: Iran, Irak, dan Uni Emirat Arab tak akan Biarkan Suriah Jatuh di Tangan Pemberontak
Sekjen PBB tersebut menyerukan penghentian segera pertikaian, mengingatkan semua pihak akan kewajiban mereka di bawah hukum internasional, termasuk hukum humaniter, dan mendesak untuk segera kembali ke proses politik yang difasilitasi oleh PBB sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 2254 Tahun 2015.
Pernyataan Guterres itu dilontarkan setelah Hayat Tahrir al-Sham, sebuah grup yang ditetapkan sebagai kelompok teroris oleh Dewan Keamanan PBB, dan faksi-faksi oposisi sekutunya melancarkan serangan pemberontak besar-besaran pekan lalu di Aleppo, Suriah barat laut, mengubah garis depan yang berada dalam kondisi statis sejak 2020.
Oposisi bersenjata Suriah menguasai seluruh Provinsi Idlib dan sebagian besar Kota Aleppo dalam sebuah serangan kilat terhadap tentara Suriah.
Serangan udara Rusia dan pemerintah Suriah menghantam pusat Aleppo pada Sabtu saat pemberontak mengklaim menguasai bandara internasional kota itu dan bergerak maju menuju Hama.
Setidaknya 16 warga sipil dan 20 pemberontak tewas dalam beberapa serangan udara sejak dini hari. Demikian menurut laporan Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), kelompok pemantau yang berbasis di Inggris.
Ini adalah pertama kalinya serangan udara menargetkan Aleppo sejak 2016, ketika oposisi Suriah diusir dari kota itu.
Namun, pemberontak yang dipimpin oleh Hay'at Tahrir al-Sham (HTS) dan kelompok sekutu, termasuk beberapa yang didukung oleh Turki, mengeklaim capaian yang menakjubkan pada Sabtu.
BACA JUGA: Media Israel Sibuk Komentari Capaian Pemberontak Suriah, Ini Faktornya Menurut Mereka
Mereka mengeklaim telah merebut Bandara Internasional Aleppo dan kota strategis Khan Sheikhoun di Idlib selatan. "Perbatasan administratif Kegubernuran Idlib sepenuhnya berada di bawah kendali mereka," kata mereka menambahkan.
Pemberontak juga mengklaim telah mulai bergerak menuju Hama dan berhasil merebut enam kota dan desa di pedesaan, termasuk Morek, yang terletak di sepanjang jalan raya penting yang menghubungkan Suriah tengah dengan utara.Middle East Eye tidak dapat memverifikasi klaim ini secara independen.
Serangan dimulai pada Rabu ketika pemberontak keluar dari wilayah yang dikuasai oposisi di barat laut Suriah menuju Aleppo.
Dalam dua hari, mereka telah merebut puluhan kota dan desa, serta satu ruas jalan raya strategis M5, yang memutus rute pasokan ke Damaskus.
Mereka telah merebut beberapa pangkalan militer dan posisi yang dibentengi sejak saat itu, dan sering kali menghadapi sedikit perlawanan.
Pemerintah Suriah mengakui kemajuan pemberontak. Dikatakan bahwa pasukan Suriah sedang melakukan operasi penempatan kembali untuk memperkuat pertahanan dan menahan serangan serta menyelamatkan nyawa warga sipil dan tentara. Suriah bersiap untuk serangan balik.
Menurut SOHR, pasukan pemerintah telah runtuh di Idlib dan Aleppo. Hal ini membuat Aleppo, kota terbesar kedua di Suriah, berada di luar kendali pemerintah untuk pertama kalinya sejak negara itu merdeka pada tahun 1946.
Setidaknya 327 orang telah tewas sejak serangan dimulai, sebagian besar pejuang di kedua belah pihak, menurut SOHR.
Di tengah perkembangan yang cepat, menteri luar negeri Turki dan Rusia - keduanya pemangku kepentingan utama di Suriah - berbicara melalui telepon pada Sabtu dan sepakat untuk mengoordinasikan upaya untuk menstabilkan Suriah.
"Kedua belah pihak menyatakan keprihatinan serius atas perkembangan situasi yang berbahaya di Republik Arab Suriah terkait dengan eskalasi militer di provinsi Aleppo dan Idlib," kata Kementerian Rusia.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov juga berbicara melalui telepon dengan mitranya dari Iran, menurut media pemerintah Iran.
Garis depan perang saudara Suriah hampir tidak berubah sejak 2020. Perjanjian "de-eskalasi" pada 2019 antara Turki yang mendukung pemberontak dan sponsor Presiden Suriah Bashar al-Assad, Rusia dan Iran, telah menciptakan stabilitas dan gencatan senjata jangka panjang.
BACA JUGA: Foto Satelit Ini Ungkap Lokasi Perang Qadisiyyah Tumbangkan Kerajaan Persia 14 Abad Silam
Sebagian besar Provinsi Idlib sejak itu dikuasai oleh HTS, mantan afiliasi Alqaidah, yang telah membentuk pemerintahan sipil.
Kelompok pemberontak yang didukung Turki dalam koalisi Tentara Nasional Suriah telah menguasai wilayah lain di utara.
Namun, meskipun Rusia terganggu oleh perang di Ukraina dan pasukan Assad melemah akibat serangan Israel yang sering terjadi, pesawat tempur Suriah dan Rusia telah meningkatkan serangan udara di wilayah yang dikuasai oposisi sejak Agustus 2023.