Kelamnya Sejarah Darurat Militer Korea Selatan

Darurat militer yang sempat diterapkan Presiden Yoon memantik kenangan pahit.

AP Photo/Sadayuki Mikami, File
Pasukan rezim darurat militer Korea Selatan menangkap aktivis prodemokrasi di Gwangju, Korea Selatan, pada 27 Mei 1980. Ratusan dilaporkan tewas dalam upaya menekan pemberontakan itu.
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL – Selasa malam, Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol mengejutkan negaranya dan dunia dengan upayanya menerapkan darurat militer. Upaya ini membuka lagi kenangan kelam soal kediktatoran di Korea Selatan di masa lalu.

Baca Juga


Deklarasi darurat militer yang dikeluarkan oleh Presiden Yoon – dengan dalih ancaman komunis yang tidak jelas – memiliki kesamaan dengan periode pemerintahan diktator sayap kanan sebelumnya di Korea Selatan selama Perang Dingin.

Korea Selatan baru menjadi negara demokrasi pada akhir tahun 1980-an, dan intervensi militer dalam urusan sipil masih merupakan topik yang sensitif. Selama masa kediktatoran yang muncul ketika negara tersebut dibangun kembali dari kehancuran Perang Korea pada tahun 1950-1953, para pemimpin kerap mengumumkan darurat militer. Mereka menempatkan tentara tempur, tank, dan kendaraan lapis baja di jalan-jalan atau di tempat-tempat umum untuk mencegah demonstrasi anti-pemerintah.

Selama periode tersebut, kekuatan militer dengan dukungan kuat dari AS memerintah Korea Selatan sebagai negara diktator dan menggunakan dalih antikomunisme untuk meredam perbedaan pendapat dari kelompok buruh dan mahasiswa yang terorganisir.

Sejak 1961, Korea Selatan dipimpin diktator Park Chung-hee. Ia menerapkan kebijakan tangan besi. Sejak 1975, misalnya, ribuan orang menjadi korban kampanye “pembersihan sosial”. Saat itu, gelandangan, pengemis, dan pedagang kaki lima dikirim ke tiga puluh enam kamp dan menjadi sasaran kerja paksa, tanpa bayaran, serta penyiksaan dan pemerkosaan berulang kali. 

Demonstrasi massal mahasiswa menuntut pencabutan darurat militer dan pengunduran diri Perdana Menteri Shin Hyon-Hwack pada Mei 1980. - (AP Photo, File)

Pada tahun 1986, jumlah narapidana melonjak dalam lima tahun dari 8.600 menjadi lebih dari 16.000, menurut dokumen pemerintah. Secara resmi, 513 orang meninggal karena kelelahan di kamp-kamp ini, namun jumlahnya mungkin jauh lebih tinggi.

Setelah pembunuhan pada 1979 terhadap Presiden Park Chung-hee serangkaian gerakan pro-demokrasi muncul untuk menuntut reformasi dan hak yang lebih besar di bidang politik dan ekonomi. Namun, kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Chun Doo-hwan berupaya membalikkan momentum upaya tersebut dan memicu pemberontakan di provinsi selatan Gwangju pada tahun 1980.

Wilayah tersebut ditutup dari wartawan, dan pasukan militer dikirim untuk menekan pemberontakan dan melakukan pembantaian warga sipil. Ratusan orang diperkirakan tewas atau hilang ketika pemerintah Korea Selatan dengan keras memadamkan pemberontakan Gwangju, ketika Chun menjadi pemimpin de facto negara tersebut.

Dalam kasus terkini, tuduhan Presiden Yoon soal simpatisan Korea Utara di kalangan oposisi, alasan lain yang ia sampaikan dalam keputusannya, juga menghidupkan kembali dalih darurat militer yang digunakan oleh kediktatoran militer pada pertengahan abad ke-20 dalam ketakutan yang tidak berdasar terhadap mata-mata di tubuh oposisi.

Darurat militer prematur...

 

Namun tiga dekade terakhir telah menunjukkan bahwa masyarakat Korea tidak akan mentolerir kemunduran demokrasi. Demonstrasi cahaya lilin pada 2016-2017 yang menggulingkan Presiden Park Geun-hye secara damai menunjukkan keterlibatan masyarakat ini. 

Masyarakat sipil Korea, mulai dari kelompok pelajar hingga organisasi keagamaan, memiliki jaringan kuat yang dapat dengan cepat melakukan mobilisasi melawan ancaman terhadap demokrasi. Saat berita ini diterbitkan, protes jalanan terus berlanjut di Seoul, dengan para demonstran menyerukan penangkapan presiden.

Mengingat respon cepat dari para politisi dan masyarakat sipil, krisis ini pada akhirnya dapat memperkuat demokrasi Korea dengan menegaskan kembali kontrol sipil dan menunjukkan ketahanan institusional. Namun hari-hari mendatang bisa saja penuh gejolak, dan masih ada pertanyaan kritis tentang bagaimana kepemimpinan militer dan kabinet Yoon akan menanggapi penolakan Majelis Nasional.

Sebelumnya, pada Rabu dini hari Presiden Yoon akhirnya mengumumkan dia akan mencabut perintah darurat militer, hampir enam jam setelah dia pertama kali mengumumkannya. Dalam sebuah pernyataan, Yoon mengatakan dia terpaksa mengeluarkan perintah “untuk mempertahankan Republik Korea yang bebas dari ancaman kekuatan komunis Korea Utara”.

Namun, diketahui bahwa popularitas Presiden Yoon saat ini tengah anjlok, dan istrinya dituding terlibat korupsi. Selain itu, parlemen juga ia nilai menghambat rencana anggarannya.

Staf Majelis Nasional menyemprotkan alat pemadam kebakaran untuk menghalangi tentara memasuki aula utama Majelis Nasional di Seoul, Korea Selatan, Rabu, 4 Desember 2024. - ( Jo Da-un/Yonhap via AP)

Presiden Yoon menuduh oposisi politik “melumpuhkan” pemerintahannya dan “merusak” tatanan konstitusional. Namun parlemen Korea Selatan dengan cepat menanggapinya dengan mengeluarkan mosi dengan suara bulat dan mengikat secara hukum untuk membatalkan perintah darurat militer dalam semalam, sehingga memicu pembatalan keputusan Yoon.

Partai oposisi Demokrat telah meminta Yoon untuk “segera mengundurkan diri”. Salah satu pemimpin Partai Demokrat, Park Chan-dae, telah memperingatkan bahwa Yoon “tidak dapat menghindari tuduhan makar”, dan mengisyaratkan kemungkinan sidang pemakzulan di masa depan. Sementara para pengunjuk rasa yang berkumpul di sekitar Majelis Nasional terdengar meneriakkan, “Tangkap Yoon Suk-yeol”.

Jika dia dimakzulkan, Yoon akan menjadi presiden Korea Selatan kedua yang dicopot dari jabatannya dalam satu dekade terakhir: Mantan presiden Park Geun-hye dimakzulkan pada 2017 dan kemudian dihukum karena penyalahgunaan kekuasaan. Pemakzulan presiden membutuhkan dua pertiga suara di Majelis Nasional yang memiliki 300 kursi. Blok oposisi saat ini memiliki 192 kursi – kurang dari ambang batas yang diperlukan untuk meloloskan mosi pemakzulan. Namun banyak politisi dari partai Yoon sendiri yang bergabung dengan oposisi dalam mengutuk tindakannya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler