Jejak Assad, Dokter Mata yang tak Cukup Umur Memimpin dan Kini Harus Terjungkal

Assad sejatinya tidak dimaksudkan untuk menjadi Presiden.

EPA-EFE/VLADIMIR GERDO/SPUTNIK/KREMLIN
Presiden Suriah Bashar al-Assad
Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah lebih dari 13 tahun perang, ratusan ribu orang tewas dan jutaan orang mengungsi, pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad tumbang. Bashar al-Assad jatuh setelah 24 tahun berkuasa.

Baca Juga


Kerumunan besar orang berkumpul di jalan-jalan Damaskus pada Ahad untuk merayakan kemenangan. Pasukan oposisi dengan cepat menguasai ibu kota, termasuk Istana Kepresiden, tempat Assad sebelumnya memerintah. 

Al-Assad dilaporkan meninggalkan negara itu dengan pesawat terbang, dan mengakhiri lebih dari 53 tahun pemerintahan otoriter keluarganya atas Suriah.

Kepergiannya meninggalkan negara itu dalam reruntuhan dan jutaan warga Suriah bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya.

Pria yang tak ditakdirkan untuk memimpin

Ketika al-Assad mewarisi kekuasaan pada tahun 2000 setelah kematian ayahnya, Hafez, ada optimisme untuk perubahan politik di Suriah.

Meski menurut laporan Aljazirah, awalnya seorang dokter mata yang belajar di London, al-Assad, tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi presiden. Ia dipanggil kembali ke Suriah setelah kematian kakak laki-lakinya, Basil.

Agar Bashar dapat memangku jabatan presiden, parlemen harus menurunkan usia minimum untuk kandidat dari 40 menjadi 34 tahun. Ia memenangkan referendum dengan lebih dari 97 persen suara, di mana ia menjadi satu-satunya kandidat.

 

Pria yang pendiam dan tertutup itu awalnya memunculkan harapan untuk reformasi. Sayangya,  tidak ada perubahan berarti baik dari sisi ekonomi maupun politik. Cara memimpinnya justru sangat mirip dengan pemerintahan otoriter ayahnya selama 30 tahun.

Pemberontakan Suriah

Satu dekade kemudian, pada Maret 2011, al-Assad menghadapi tantangan besar pertamanya saat warga Suriah turun ke jalan menuntut demokrasi, kebebasan sipil, dan pembebasan tahanan politik.

Al-Assad menolak pemberontakan itu sebagai konspirasi asing, melabeli lawan-lawannya sebagai 'teroris;.

Sebagai pemimpin satu-satunya kekuatan politik legal negara itu, Partai Baath, dan panglima tertinggi angkatan bersenjata, ia merespons demonstran dengan tindakan keras. 

Hal ini hanya memperparah protes, yang dengan cepat meningkat. Pada 2012, pemerintah menggunakan senjata berat terhadap kelompok pemberontak, termasuk serangan udara.

Kerusuhan menyebar, memicu pemberontakan bersenjata yang melibatkan kekuatan regional dan internasional.

Pada tahun-tahun berikutnya, pemerintahan al-Assad tetap berkuasa dengan dukungan politik dan militer dari Rusia dan Iran, serta kelompok Hizbullah Lebanon yang didukung Teheran.

Al-Assad secara bertahap berhasil merebut kembali sebagian besar wilayah yang awalnya direbut oleh oposisi. Namun, ia memerintah negara yang terpecah belah, dengan hanya sebagian kendali dan basis dukungan yang sempit, terutama dari minoritas Alawi yang keluarganya merupakan bagian darinya.

Gencatan senjata dideklarasikan pada Maret 2020 menyusul kesepakatan antara Rusia dan negara tetangga Turki, yang secara historis mendukung beberapa kelompok oposisi di Suriah.

 

Namun, Suriah terus menderita akibat pengeboman dan pertempuran yang sering terjadi. Sementara al-Assad mengabaikan proses politik yang dipimpin Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mewujudkan transisi demokrasi.

Selama bertahun-tahun, al-Assad menampilkan dirinya sebagai pelindung minoritas Suriah, memposisikan diri sebagai benteng melawan "ekstremisme" dan satu-satunya kekuatan yang mampu memulihkan stabilitas di negara dilanda perang tersebut.

Dalam beberapa pemilihan umum yang diadakan selama bertahun-tahun, termasuk selama perang di wilayah yang dikuasai pemerintah, hasil resmi menunjukkan al-Assad memenangkan mayoritas suara. Pada Mei 2021, ia terpilih kembali untuk masa jabatan keempat dengan perolehan 95,1 persen suara.

Namun, pemerintahannya tidak dapat memperoleh kembali legitimasi di mata sebagian besar masyarakat internasional, dengan sejumlah negara dan kelompok hak asasi manusia menuduh bahwa pemilihan umum tersebut tidak bebas dan tidak adil.

Pada 2023, Organisasi Pelarangan Senjata Kimia menyimpulkan bahwa ada "alasan yang masuk akal untuk percaya" bahwa pemerintah Suriah menggunakan senjata kimia dalam serangan pada tanggal 7 April 2018 di Douma, dekat Damaskus.

Pada November 2023, Prancis mengeluarkan surat perintah penangkapan internasional untuk al-Assad, menuduhnya terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan terkait dengan serangan kimia yang dituduhkan kepada pemerintahannya pada tahun 2013.

Keesokan harinya, Mahkamah Internasional, pengadilan tinggi PBB, memerintahkan pemerintah Suriah untuk mengakhiri penyiksaan dan bentuk-bentuk perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat lainnya.

“Bagi warga Suriah, [al-Assad] akan selalu dikenang sebagai presiden yang menunjukkan kepemimpinan yang buruk, menghancurkan negaranya, dan menggusur rakyatnya sendiri,” kata analis kebijakan Suriah Marwan Kabalan.

“Ia tidak hanya kehilangan kekuasaannya, tetapi juga kehilangan seluruh tanah airnya.”

Pada 2023, setelah lebih dari 12 tahun perang, al-Assad disambut kembali di Liga Arab oleh negara-negara Arab yang sama yang pernah menjauhinya. Keputusan untuk mengembalikan keanggotaan Suriah menandai pembalikan diplomatik yang dramatis karena beberapa negara Arab berusaha untuk terlibat kembali dengan al-Assad.

Namun, situasi di lapangan tetap sama. Warga Suriah, yang berharap akan awal yang baru, masih hidup dalam keruntuhan ekonomi dan krisis kemanusiaan.

Dan selama 10 hari terakhir, perang yang telah lama terhenti itu kembali bergemuruh dengan kemajuan pesat para pejuang oposisi. Mereka dengan cepat menguasai beberapa kota besar pada saat sekutu al-Assad sibuk dengan konflik mereka sendiri di tempat lain.

"Selama beberapa dekade, rezim ini telah menjadi sumber penindasan, ketidakstabilan, dan kehancuran," kata Fadel Abdulghani, direktur eksekutif Jaringan Hak Asasi Manusia Suriah, kepada Aljazirah. 

Ia mengatakan meskipun tugas membangun kembali Suriah sangat besar, ia tetap berharap. "Saya optimis dan saya pikir kita dapat membangun lebih jauh dari itu untuk membangun negara yang demokratis."

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler