Imam Hanafi Kritik Penguasa, Tapi Tetap Taat pada Perintahnya
Kepatuhan Imam Hanafi terhadap penguasa adalah bentuk puncak ketaatannya.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dikisahkan dalam Biografi Empat Mazhab karya Syekh Abdul Aziz Asy Syinawi, antara Muhammad bin Abu Laila (Seorang qadhi atau hakim pengadilan syariah yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam) dan Imam Hanafi terdapat sedikit kesalahpahaman. Muhammad bin Abu Laila biasa duduk di Masjid Kufah karena jabatannya sebagai Qadhi di Kufah.
Suatu hari, saat hendak pulang, Muhammad bin Abu Laila mendengar seorang wanita memanggil seorang pria. "Hai anak dua orang yang berzina!"
Muhammad bin Abu Laila memanggilnya dan ia kembali ke majelisnya di masjid. Lalu, ia mengukum orang itu dengan dua had (hukuman) sambil berdiri.
Rupanya, Imam Hanafi mendengarnya, ia pun mengatakan, "Qadhi telah melakukan enam kesalahan."
Berikut enam kesalahan putusan Muhammad bin Abu Laila yang disebutkan Imam Hanafi:
1. Dia kembali ke pengadilan setelah meninggalkannya, padahal ia tak boleh kembali ke sana setelah ia meninggalkannya.
2. Dia melaksanakan hukuman had di masjid, padahal Rasulullah telah melarang pelaksanaan had di Masjid.
3. Dia menghukum wanita dalam keadaan berdiri, padahal menghukum wanita harus dilaksanakan dalam keadaaan duduk dan tertutup auratnya.
4. Dia menghukumnya dengan dua had, padahal orang yang menuduh berzina sekelompok orang dengan satu kata dihukum dengan satu had dan andai dia memang harus dihukum dengan dua had, maka setelah ia sembuh dari cambukan pertama, ia baru boleh dicambuk lagi.
5. Dia menghukumnya tanpa ada orang yang menuntutnya
6. Dia menghukum wanita gila
Ternyata Muhammad bin Abu Laila mendengarnya, ia pun bergegas menghadap gubernur Kufah dan mengadukan Imam Hanafi.
"Di sini ada seorang pemuda bernama Abu Hanifah. Dia mengkritik keputusanku, menentang fatwaku, dan menuduhku telah melakukan kesalahan. Aku mohon anda sudi menghentikannya."
Gubernur Kufah langsung mengirimkan utusan untuk melarang Imam Hanafi berfatwa.
Suatu hari, Imam Hanafi tengah berkumpul dnegan putranya, Hammad dan putrinya. "Aku puasa," ujar putrinya dan darah keluar dari sela-sela gigiku. Aku telah mengeluarkan semuanya hingga air liurku kembali terlihat putih tanpa campuran darah sedikit pun Apakah puasaku batal jika aku menelannya?"
"Tanya saudaramu, Hammad. Sebab Gubernur telah melarangku berfatwa," ujar Imam Hanafi.
Kisah ini termasuk kisah yang membuktikan kebaikan Imam Hanafi. Dia begitu menaati penguasa karena menaatinya adalah suatu yang wajib. Bahkan, Imam Hanafi tetap menaatinya sekalipun pada waktu ia bersama-sama keluarganya, yaitu dengan tidak menjawab pertanyaan putrinya. Ini benar-benar puncak ketaatan.