Indonesia Resmi Bergabung BRICS, Apa Untung dan Ruginya? 

Bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS merupakan suatu langkah yang tepat.

Hong/Pool Photo via AP
Pekerja staf berdiri di belakang bendera nasional Brasil, Rusia, China, Afrika Selatan, dan India untuk merapikan bendera menjelang foto bersama selama KTT BRICS di Pusat Konferensi dan Pameran Internasional Xiamen di Xiamen, Provinsi Fujian, Cina tenggara, Senin, 4 September 2017.
Rep: Eva Rianti Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Per Senin (6/1/2025), Indonesia telah resmi menjadi anggota organisasi internasional BRICS, berdasarkan pernyataan resmi Pemerintah Brasil sebagai pemegang presidensi BRICS pada 2025. Lantas, apa untung dan rugi bagi Indonesia bergabung dalam organisasi tersebut, termasuk mengenai dampak kebijakan proteksionisme Presiden AS Donald Trump ke depan terhadap negara-negara berkembang? 

Baca Juga


Pengamat ekonomi Ryan Kiryanto menilai bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS merupakan suatu langkah yang tepat. Menurutnya, Indonesia memang harus lebih banyak terlibat aktif di dalam forum-forum internasional, dan menjadi leader di konteks ASEAN. 

Menurutnya masing-masing negara memang saling ketergantungan, sehingga perlu hubungan yang lebih akrab untuk saling memberikan keuntungan, terutama dalam sektor perekonomian. Misalnya, kaitannya dengan kondisi surplus atau defisit komoditas tertentu, negara-negara yang tergabung di dalamnya bisa saling melengkapi, atau disebut vice versa (timbal balik). 

“Kita hidup di dalam kampung dunia atau disebut global village, maka kita harus banyak teman, banyak bergaul. Nah, karena kita menganut politik luar negeri yang bebas aktif dan nonblok, kita punya luxury, punya kebebasan. Dengan pertemanan secara global ini, maka kita bisa memberikan benefit dan sebaliknya memetik benefit dalam pergaulan internasional itu,” ujar Ryan kepada Republika, Selasa (7/1/2025). 

Ryan menjelaskan, keuntungan-keuntungan tersebut bisa direalisasikan dalam berbagai konteks implementasi. Yakni bisa mendatangkan produk-produk luar negeri ke Indonesia dengan harga atau tarif yang lebih murah, terutama produk yang pasokannya defisit. Misalnya, kebutuhan beras yang melebihi stok yang ada di dalam negeri, sehingga butuh didatangkan dari negara lain penghasil komoditas pokok tersebut. 

Sebaliknya, Indonesia bisa mengirim produk-produk dalam negeri ke luar negeri. Misalnya produk hasil pertanian, atau hasil energi seperti batu bara, nikel, dan bauksit. Selain itu juga, bergabung dengan forum internasional seperti BRICS bisa menjadi ajang untuk saling tukar-menukar ilmu. 

“Jadi, banyak benefit kalau Indonesia terlibat di fora-fora internasional termasuk BRICS,” tegasnya. 

Sementara itu, mengenai kerugian dari bergabungnya Indonesia ke BRICS, Ryan menilai tidak ada. Menurut hematnya, keputusan itu justru berisi banyak peluang bagi Indonesia untuk semakin dikenal dunia internasional. 

“Sebetulnya saya enggak melihat rugi. Rugi itu kalau kita enggak pandai dalam melakukan perjanjian-perjanjian internasional. Dengan kita masuk BRICS, skala ekonomi kita tuh akan naik selevel China, India, lho, itu kan kapasitas ekonominya lebih besar dari Indonesia. PDB China nomor 2 di dunia, PDB India nomor 6, PDB Indonesia kan nomor 16, jadi dengan bergaul dengan India dan China, akan mengangkat harkat kita,” jelasnya. 

Ryan menegaskan agar Indonesia mampu mengambil cuan atas usaha bergabung ke BRICS. Sekalipun Indonesia dinilai akan menjadi pasar bagi negara-negara BRICS lainnya, justru itu juga peluang bagi Indonesia untuk sebaliknya menjadikan negara-negara itu sebagai pasar dengan membanjiri produk-produk Indonesia. 

“Mentalitas pemerintah di bawah Presiden Prabowo harus berubah menajdi mental pemenang, jangan jadi mental pecundang,” ujar dia. 

Dampak Kebijakan Proteksionisme Trump 

Saat disinggung mengenai ada atau tidaknya dampak kebijakan proteksionisme Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap anggota BRICS, Ryan menilai hal itu tidak berefek pada Indonesia. Ia menekankan pendekatan bilateral yang variatif. Yang terkena kenaikan tarif bea masuk itu adalah China, Mexico, Kanada, dan Vietnam.

Enggak masalah. Indonesia dengan kepemimpinan Trump tidak ada pengaruh negatif. Karena Indonesia secara bilateral track-nya kita menikmati surplus tapi enggak gede, yang nanti harus wasapada adalah negara-negara mitra dagang AS yang memiliki surplus yang besar karena bea masuk akan dinaikkan. Indonesia enggak kena, tenang aja,” tuturnya.  

 

Menurut pandangan Ryan, ada banyak salah kaprah mengenai akan terjadinya dampak yang signifikan atas kebijakan proteksionisme Trump yang akan memukul kondisi ekonomi Indonesia. Ia menyebut, Indonesia perlu tenang karena memperoleh fasilitas generalized system of preference (GSP) atau bebas tarif bea masuk dari AS. 

“Banyak yang bilang dengan kenaikan bea masuk ini nanti Indonesia terpukul, no! Indonesia tetap dapat fasilitas GSP, kita tetap dapat keistimewaan, don’t worry,” ujar dia. 

Ryan menuturkan, sebenarnya isu yang muncul antara Trump dengan BRICS adalah mengenai dolarisasi, atau pengurangan penggunaan dolar. Ia menekankan bahwa BRICS bisa menggunakan dolar sebagai mata uang internasional, tetapi juga bisa menggunakan mata uang masing-masing negara. Hal itu sesuai dengan kesepakatan antar negara. 

“Jadi enggak ada (dampak proteksionisme Trump ke Indonesia yang bergabung dengan BRICS). Kalau pun apes-apesnya, lalu pasar AS ditutup, kan kita bisa mencari pasar lain. Jangan mudah kita ‘dikadalin’ negara lain,” tutupnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler