Terus Tembaki Warga Gaza, Elite Politik dan Militer Israel Saling Menjatuhkan
Militer Israel lelah berperang di Palestina.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak ada yang senang berperang. Mereka yang terlalu lama berbaku hantam akan menghadapi stres dan dilanda kecemasan, hingga akhirnya mengalami gangguan jiwa, begitulah ketakutan yang dialami tentara Israel jika mereka terus menerus menembaki warga Gaza Palestina.
Tekanan pemerintah Netanyahu terhadap militer Israel bukan tanpa akibat. Tentara yang termasuk lima yang terkuat di dunia itu, ternyata tak tahan apabila terus menerus berperang.
Pengamat Palestina, Hassan Lafi menjelaskan, Israel hidup di bawah pengaruh konflik yang meningkat antara lembaga militer dan elite politik yang dipimpin oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Konflik itu mencerminkan krisis struktural dalam sistem Israel terkait dengan perimbangan kekuasaan antara sipil dan militer. Perselisihan ini merupakan kelanjutan upaya kelompok sayap kanan Netanyahu untuk mengurangi pengaruh militer, yang telah lama dipandang sebagai salah satu kekuatan yang dominan di tubuh struktur kenegaraan Israel.
Penyebab konflik militer dan elite politik Israel
Salah satu poin perselisihan yang paling menonjol terletak pada dampak kegagalan keamanan pada tanggal 7 Oktober. Saat itu dinas keamanan dan tentara gagal memprediksi atau menghadapi serangan yang dilancarkan oleh gerakan Hamas.
Kepala Staf IDF Herzi Halevy secara terbuka mengakui tanggung jawabnya atas kegagalan tersebut. Sejak itu dia menjadi sasaran kritik keras dari pemerintah dan banyak politisi negeri zionis tersebut.
Di sisi lain, Netanyahu memanfaatkan peristiwa ini untuk menumpahkan kesalahan kepada pihak militer. Dengan begitu, Netanyahu terbebas dari kesalahan dan kritik terkait kegagalan mengantisipasi operasi badai al aqsa 7 Oktober 2023.
Perkembangan ini dipercepat ketika Wakil Kepala Staf, Mayor Jenderal Amir Baram, mengumumkan niatnya untuk mengundurkan diri pada Februari mendatang, setelah memperpanjang masa jabatannya selama enam bulan akibat perang. Baram mengindikasikan dalam surat yang bocor bahwa perannya menjadi terbatas seiring dengan menurunnya intensitas perang, yang mencerminkan kritik tersirat terhadap Kepala Staf Halevy.
Pengunduran diri ini terjadi, seiring dengan meningkatnya seruan agar Halevy mengundurkan diri, melemahkan pengaruh militer dan meningkatkan peluang pemerintah untuk campur tangan dalam urusan bongkar pasang komandan militer dan strategi berperang.
Herzi Halevy semakin terpuruk
Ketegangan antara tentara dan pemerintah diperburuk oleh persaingan untuk mendapatkan jabatan kepemimpinan. Menteri Pertahanan Israel Katz, yang baru-baru ini ditunjuk untuk menggantikan Yoav Gallant, menolak meratifikasi daftar promosi sejumlah pasukan yang disampaikan Herzi Halevy. Penolakan ini bukan sekedar tindakan administratif, melainkan mencerminkan keinginan pemerintah untuk mengontrol arah masa depan kepemimpinan militer.
Perbedaan juga muncul secara terbuka dengan pernyataan Juru Bicara Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Daniel Hagari, yang dianggap sebagai kritik terselubung terhadap kantor Menteri Pertahanan. Bentrokan ini mengungkapkan besarnya ketegangan antara kedua lembaga tersebut dan niat pemerintah untuk menundukkan “tentara” demi kepentingan agenda politiknya.
Di tingkat internasional, pada masa pemerintahan Presiden Joe Biden, Amerika Serikat memainkan peran pendukung bagi kemerdekaan “tentara” Israel. Washington telah menyerukan penyelidikan transparan atas kegagalan 7 Oktober, sambil menekankan perlunya menjaga profesionalisme lembaga militer, namun terpilihnya Donald Trump sebagai presiden menandai perubahan dalam dinamika ini. Trump dikenal karena kedekatannya dengan Netanyahu dan dukungan mutlaknya terhadap pemerintah sayap kanan Israel, yang mungkin memberikan perlindungan politik bagi pemerintah Israel untuk melanjutkan upayanya mengendalikan “militer.”
Dalam kondisi seperti ini, hubungan antara “militer” dan elite politik tampaknya berada dalam jalur yang tegang. Sementara itu Netanyahu kemungkinan akan terus memperketat cengkeramannya pada lembaga militer. Pengunduran diri Baram dan tekanan agar Halevy mengundurkan diri merupakan tanda jelas menurunnya kemampuan tentara dalam mewarnai politik Israel.
Meskipun demikian, institusi militer masih mendapat dukungan kuat dari rakyat dan internasional, yang mungkin memberikan mereka kemampuan untuk menghadapi tantangan internal. Namun politisasi tentara, jika terus berlanjut, dapat menyebabkan terkikisnya independensinya, mengancam kemampuan Israel untuk menjaga keseimbangan kelembagaan di saat meningkatnya tantangan keamanan dan regional.
Konflik antara Netanyahu dan pihak militer bukan hanya perselisihan mengenai tanggung jawab atau peran, namun lebih merupakan cerminan dari transformasi yang lebih mendalam dalam rezim Israel. Upaya untuk mempolitisasi tentara dan melemahkan independensinya dapat menyebabkan melemahnya sistem keamanan dan politik, belum lagi risiko besar terhadap stabilitas internal Israel dan kemampuannya untuk menghadapi tantangan keamanan yang semakin meningkat.
- Palestina
- gaza
- israel
- tel aviv
- netanyahu
- amerika serikat
- operasi badai al aqsa
- thufan al aqsa
- two state solution israel dan palestina
- solusi dua negara palestina dan israel
- perdamaian di palestina
- hamas
- hizbullah
- IDF
- israel defense force
- bantuan untuk palestina
- bantuan untuk gaza
- bantuan kemanusiaan
- bantu palestina