Benarkah Kasus Tom Lembong Mandek tak Dibawa ke Pengadilan? Ini Penjelasan Kejagung
Jaksa memastikan perkara Tom Lembang sedang di puncak penyelesaian.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejagung) mengatakan bahwa penyidikan tersangka kasus dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan pada 2015–2016, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong (TTL), berada di puncak penyelesaian. Pernyataan itu sekaligus menepis anggapan bahwa kasus Tom Lembong mandek karena tak ada bukti.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar di Jakarta, Selasa, menjelaskan bahwa hari ini Tom menjalani pemeriksaan sebagai saksi untuk tersangka lain, yakni Charles Sitorus (CS) selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI yang juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Lalu, lanjut dia, tersangka Charles juga diperiksa untuk Tom Lembong. Apabila tersangka diperiksa untuk tersangka lain sebagai saksi, maka keduanya dinamakan sebagai saksi mahkota.
"Yang pasti, biasanya kalau TTL sudah diperiksa untuk tersangka ini, tersangka ini sudah diperiksa untuk TTL, berarti kan penyidik sudah tinggal di puncak dalam konteks penyelesaiannya," ucapnya.
Terkait kapan berkas Tom Lembong dilimpahkan? Ia masih belum bisa mengungkapkannya. Namun, ia menegaskan bahwa penyidik terus melakukan langkah-langkah untuk mendalami kasus ini.
"Kita tegaskan bahwa penyidik tidak akan main-main. Siang dan malam fokus bagaimana menyelesaikan perkara-perkara ini, termasuk Pak TTL," ujarnya.
Diketahui, Kejagung telah menetapkan dua orang tersangka dalam kasus tersebut, yaitu Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan periode 2015–2016 dan Charles Sitorus (CS) selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI.
Dalam keterangannya, Kejagung menuturkan bahwa kasus ini bermula ketika Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan pada saat itu memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP untuk diolah menjadi gula kristal putih.
Padahal, dalam rapat koordinasi antar-kementerian pada tanggal 12 Mei 2015 disimpulkan bahwa Indonesia sedang mengalami surplus gula, sehingga tidak memerlukan impor gula.
Kejagung menyebut persetujuan impor yang dikeluarkan itu juga tidak melalui rakor dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna mengetahui kebutuhan gula dalam negeri.