Terungkap Nilai Kerugian Akibat Pagar Laut di Tangerang Rp116 M per Tahun, Ini Hitungannya
Proyek pagar laut tidak memberikan nilai tambah bagi masyarakat pesisir.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kerugian yang ditimbulkan akibat pemasangan pagar laut ilegal mencapai Rp116,91 miliar per tahunnya berdasarkan analisis ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran, Jakarta, Achmad Nur Hidayat. Nilai kerugian yang merujuk pada data-data Ombudsman RI ini mencakup dampak terhadap pendapatan nelayan, peningkatan biaya operasional, serta kerusakan ekosistem laut.
“Keberadaan pagar laut di pesisir Tangerang dan Bekasi telah menciptakan kerugian ekonomi, sosial, dan ekologis yang signifikan. Proyek ini tidak hanya merugikan nelayan, tetapi juga gagal memberikan manfaat yang dijanjikan. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa pembangunan pagar ini lebih banyak memberikan dampak negatif daripada positif,” kata Achmad di Jakarta, Kamis (15/1/2025).
Achmad memerinci, kerugian sebesar Rp116,91 miliar tersebut terdiri dari penurunan pendapatan nelayan sebesar Rp93,31 miliar per tahun, peningkatan biaya operasional sebesar Rp18,60 miliar per tahun, dan kerusakan ekosistem laut senilai Rp5 miliar per tahun. Perhitungan ini didasarkan pada data dari Ombudsman RI serta analisis ekologis independen.
Sebagaimana diketahui, telah ditemukan pembangunan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir utara Kabupaten Tangerang dan 8 kilometer di Bekasi yang tengah menjadi sorotan. Pagar ini diklaim sebagai upaya mitigasi abrasi dan tsunami, namun data menunjukkan bahwa struktur ini lebih banyak mendatangkan kerugian.
Berdasarkan data Ombudsman RI, sekitar 3.888 nelayan di Tangerang dan Bekasi mengalami kerugian akibat terhambatnya akses ke wilayah tangkapan ikan. Achmad menilai pendapatan nelayan menurun rata-rata Rp100.000 per hari karena waktu melaut yang berkurang dan jarak melaut yang lebih jauh. Dengan asumsi nelayan bekerja 20 hari per bulan, kerugian total mencapai Rp7,776 miliar setiap bulan atau Rp93,31 miliar per tahun.
Selain itu, rute melaut yang lebih panjang meningkatkan konsumsi bahan bakar hingga Rp1,55 miliar per bulan atau Rp18,60 miliar per tahun. Biaya tambahan ini semakin memperburuk kondisi ekonomi nelayan.
"Dengan ekosistem yang terganggu dan akses masyarakat yang terbatas, pagar laut ini justru menjadi penghalang utama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir," ujarnya.
Selain kerugian ekonomi, pagar laut juga dinilai merusak ekosistem pesisir. Struktur bambu dan pemberat pasir yang digunakan untuk membangun pagar mengganggu habitat alami ikan, udang, dan kerang. Hal ini memperburuk kondisi ekosistem yang sudah rentan akibat aktivitas manusia lainnya.
"Hal ini semakin memperburuk kondisi ekosistem yang sudah rentan akibat aktivitas manusia lainnya. Alih-alih mencegah abrasi, pagar ini justru menciptakan tekanan baru pada lingkungan," terang Achmad.
Lebih lanjut, analisis biaya dan manfaat (cost-benefit analysis) menunjukkan ketimpangan yang mencolok antara kerugian yang ditimbulkan dan manfaat yang diharapkan. Dengan kerugian ekonomi yang mencapai Rp116,91 miliar per tahun, namun manfaat seperti mitigasi abrasi dan tsunami serta budidaya kerang hijau tidak dapat diverifikasi atau memberikan dampak nyata.
"Hasil analisis ini menunjukkan bahwa proyek pagar laut tidak memberikan nilai tambah bagi masyarakat pesisir. Sebaliknya, proyek ini justru menciptakan beban tambahan yang signifikan bagi masyarakat lokal," tuturnya.
Oleh karena itu, ia menekankan perlunya tindakan tegas untuk mengatasi permasalahan ini. Achmad merekomendasikan agar pagar laut ilegal segera dibongkar demi memulihkan akses nelayan ke wilayah penangkapan ikan.
Selain itu, kebijakan berbasis data harus diterapkan untuk memastikan bahwa mitigasi abrasi dilakukan secara efektif dan berkelanjutan. Pemerintah juga harus meningkatkan pengawasan terhadap wilayah pesisir untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa depan.
"Dengan langkah-langkah tersebut, keadilan bagi nelayan dapat dipulihkan, dan ekosistem pesisir dapat dilindungi dari kerusakan lebih lanjut. Semua pihak harus bersinergi untuk memastikan bahwa kebijakan pembangunan selalu berpihak pada rakyat kecil dan lingkungan yang berkelanjutan," ujarnya.
Ombudsman RI pun telah mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk segera membongkar pagar laut sepanjang 30,16 km di pesisir Kabupaten Tangerang. Ombudsman RI menilai pagar laut itu ilegal dan merugikan ribuan nelayan setempat.
"Dari keterangan pihak KKP bahwa sudah jelas ini (pagar laut) tidak berizin. Sehingga sudah disegel. Ombudsman mendesak KKP untuk segera melakukan pembongkaran pagar tersebut, karena merugikan nelayan," ujar anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, dalam keterangannya di Serang, Banten, Rabu (15/1/2025).
Hal itu dikatakan Yeka usai melakukan sidak di lokasi pemagaran laut di Kecamatan Kronjo Kabupaten Tangerang. Dalam sidak ini Ombudsman juga mengajak pihak terkait seperti KKP, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Pemerintah Provinsi Banten untuk meminta keterangan secara langsung.
Ombudsman RI menyoroti permasalahan pelayanan publik yakni akses nelayan untuk mencari nafkah di laut menjadi terganggu. Yeka menaksir kerugian nelayan selama 5 bulan terakhir setidaknya mencapai Rp9 miliar.
Untuk itu Ombudsman akan memantau tindak lanjut dari KKP terkait percepatan pembongkaran pagar laut di wilayah Banten.
"Karena pagar laut ini sudah berlangsung lama sejak Agustus 2024, semestinya tidak perlu menunggu 20 hari untuk pembongkaran. Namun, memang perlu persiapan sumber daya untuk melakukan pembongkaran ini," ujar dia
Yeka mengungkapkan, Ombudsman Perwakilan Provinsi Banten di bawah kepemimpinan Fadli Afriadi tengah melakukan Investigasi atas prakarsa sendiri terkait pagar laut ini. Tak menutup kemungkinan Ombudsman juga akan melakukan pemanggilan kepada pihak terkait guna merampungkan hasil investigasi.
Terkait tudingan bahwa pemagaran laut tersebut merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), Yeka mengatakan berdasarkan keterangan Kemenko Bidang Perekonomian, hal tersebut tidak benar. Ombudsman juga telah meminta keterangan dari pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan didapatkan informasi bahwa belum ada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) terkait pemanfaatan ruang laut ini. Selain itu, pihak Kementerian ATR/BPN juga menyampaikan bahwa lokasi pemagaran laut belum terdapat dokumen hak apa pun sehingga masih dalam penguasaan negara.
"Kalau ilegal otomatis ada potensi pidana. Sehingga dalam ini perlu peran aparat penegak hukum. Ombudsman lebih menyoroti persoalan pelayanan publik yang terganggu," tegas Yeka.
Dirinya berharap dalam 1-2 pekan persoalan pagar laut di wilayah Banten bisa selesai dan nelayan dapat beraktivitas seperti sedia kala.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Banten, Fadli Afriadi mengingatkan kembali dampak kerugian akibat pembangunan pagar laut tersebut, khususnya bagi para nelayan, petambak, dan masyarakat sekitar yang berpenghidupan di sekitar pesisir laut.
"Tindakan tegas dan terukur dari kementerian dan instansi yang berwenang untuk membereskan pagar laut ilegal tersebut harus segera dilakukan. Selain untuk mencegah kerugian masyarakat yang lebih banyak, juga diperlukan untuk memulihkan kepercayaan publik bahwa negara hadir untuk menjaga dan melayani masyarakatnya," tutur Fadli.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, masih mencari dan menyelidiki pihak penanggung jawab dalam pemasangan pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer (km) di laut pesisir pantai utara (pantura), Kabupaten Tangerang, Banten. "Tentunya dengan adanya polemik berkepanjangan ini pasti akan muncul siapa yang bertanggung jawab. Tapi, kami saat ini masih terus mendalami siapa yang akan muncul sebagai penanggung jawab pemagaran ini," kata Direktur Pengawasan Sumber Daya Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Halid K. Jusuf di Tangerang, Rabu.
Ia mengungkapkan, dalam waktu dekat ini Kementerian Kelautan dan Perikanan akan segera melakukan pembongkaran pagar bambu yang membentang disepanjang laut pantura Kabupaten Tangerang tersebut. Langkah tegas itu, dilakukan setelah pihaknya menyelesaikan penyelidikan dan berkoordinasi dengan lembaga dan kementerian terkait lainnya yang berkewenangan.
"Untuk pembongkaran pagar laut ini tentunya kami butuh waktu. Kami akan berkoordinasi dengan lintas kementerian terkait karena masalah tanggungjawab terhadap masalah di laut ini tidak hanya merupakan kewenangan kami. Mungkin satu dua hari ini akan ada solusi kapan kira-kira pembongkaran itu akan dimulai," jelasnya.
Halid juga menyampaikan, dari hasil proses penyelidikan dan pemantauan di lapangan, bila pemasangan pagar laut bambu itu dilakukan bukan menggunakan alat berat. Melainkan dengan manual atau tenaga manusia. Kendati demikian, untuk mengungkap dan mengetahui siapa yang harus bertanggungjawab dalam kasus ini. Maka, pihaknya kini terus melakukan investigasi mendalam.
"Jelas ini manusia menggunakan tangan-tangannya. Ada langkah investigatif yang tengah kami lakukan apakah itu di masyarakat, lembaga sosial, ataupun pihak-pihak lain yang merasa bertanggung jawab atas pemagaran tersebut. Kami akan melihat reaksi seperti apa yang akan muncul," ujarnya.
Dia menambahkan, hingga kini KKP RI telah melakukan penyegelan pagar hang membentang di laut Kabupaten Tangerang, hal itu sebagai wujud hadirnya pemerintah dalam konflik di tengah masyarakat. "Atau kalau perlu, kalau memang perlu didalami ada kerusakan ekosistem, yang tadi seperti yang disampaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, maka bukan tidak mungkin itu akan lari ke proses pidana," kata dia.