Tren Hijrah Muslim Urban Perkotaan, Mengapa Semakin Menguat?  

Hijrah semakin menguat dengan dukungan pemerintah

Antara/Septianda Perdana
Pengunjung menghadiri Festival Roadshow Hijrah Fest 2019 di Medan, Sumatra Utara, Jumat (5/4/2019).
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Istilah Arab hijrah, yang berarti "migrasi", secara etimologis mengacu pada segala bentuk migrasi. Namun, istilah ini memiliki arti khusus dalam tradisi Islam, karena istilah ini menandai migrasi bersejarah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah pada abad ke-7.

Oleh karena itu, istilah ini melambangkan perjalanan fisik dan pencarian spiritual untuk mendapatkan kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan iman Islam.

Mengutip kajian Najwa Abdullah dalam kajiannya bertajuk, The Hijrah Phenomenon: Shifting Urban Muslim Identities In Indonesia – Analysis, sejak tahun 2000-an, istilah ini telah dihidupkan kembali dalam wacana populer di Indonesia dan digunakan oleh gerakan kebangkitan Islam untuk menandakan kesalehan dan identitas agama yang baru ditemukan.

Dengan penekanan pada pertobatan, pemurnian, dan reformasi diri, fenomena Hijrah dapat dilihat sebagai bentuk religiusitas yang 'dilahirkan kembali', atau dalam istilah lokal, 'santrinisasi', di mana seorang individu Muslim mengalami transformasi pribadi dengan meninggalkan gaya hidup yang dianggap berdosa dan merangkul jalan yang lebih saleh.

Dengan demikian, gerakan Hijrah melihat munculnya kelompok-kelompok pengajian, meluasnya penggunaan pakaian Muslim seperti hijab (cadar), dan peningkatan minat yang signifikan terhadap ziarah haji dan umrah.

Dalam konteks ini, sebuah studi 2021 oleh PPIM UIN Jakarta menunjukkan bahwa gerakan Hijrah dipersepsikan secara positif oleh sebagian besar audiens daring karena fokusnya pada perbaikan diri yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.

Pada saat yang sama, tren Hijrah sering kali memperkuat norma dan nilai konservatif dan oleh karena itu dapat dilihat sebagai bagian dari kebangkitan Islam konservatif secara keseluruhan di Indonesia pasca-Reformasi.

Namun, tren ini tidak memiliki fondasi institusional yang jelas dan terpadu. Dikatakan bahwa para pengikut Hijrah mewujudkan apa yang digambarkan oleh cendekiawan Indonesia, Kuntowijoyo, sebagai "Muslim Tanpa Masjid."

Tidak seperti santri tradisional, yang mendapatkan pengetahuan Islam melalui lembaga-lembaga yang sudah lama berdiri seperti pesantren atau madrasah, para pengikut Hijrah mendapatkan pemahaman mereka dari sumber-sumber non-tradisional seperti buku-buku populer, majalah, radio, televisi, dan internet.

Didirikan oleh tokoh masyarakat dan pengkhotbah otodidak, mereka menyampaikan dakwah Islam melalui metode-metode baru, seperti melibatkan kelompok-kelompok berbasis hobi, memanfaatkan media sosial, berkolaborasi dengan para pemberi pengaruh, dan menawarkan layanan seperti konseling remaja dan perjodohan.

Mereka memproduksi konten kreatif seperti novel, lagu, film, dan fesyen untuk menampilkan Islam yang sesuai dengan budaya konsumen dan gaya hidup perkotaan, membahas tema-tema yang berkaitan dengan cinta, pernikahan, dan karier.

Contoh kasusnya adalah munculnya 'novel cadar', sebuah genre roman yang berorientasi religius yang secara mencolok menampilkan wanita Muslim bercadar baik dalam narasi maupun citranya.

Khususnya, kesuksesan besar Ayat-Ayat Cinta pada tahun 2008, baik sebagai novel dengan penjualan lebih dari 1 juta eksemplar dan sebagai film dengan 3,8 juta penonton, telah membawa perhatian yang lebih luas pada genre ini.

Menampilkan seorang pemuda Muslim yang saleh dan seorang wanita Muslim bercadar sebagai protagonis, cerita ini menggambarkan poligami sebagai praktik Islam yang disetujui dan menganjurkan ta'aruf (pacaran yang sesuai dengan Islam).

Contoh lainnya adalah menjamurnya buku-buku panduan yang mendorong perempuan Muslim untuk mengenakan jilbab dan melakukan ta'aruf sebagai sarana untuk memperbaiki diri dan menjauhkan diri dari praktik-praktik maksiat. Termasuk di dalamnya buku Yuk Berhijab! (Yuk Berhijab!, 2013) dan Udah, Putusin Aja! (Udah, Putusin Aja, 2015) oleh Felix Siauw, seorang penceramah otodidak yang dikenal dengan sikapnya yang pro-kekhalifahan.

BACA JUGA: Perburuan Tentara Israel di Brasil dan Runtuhnya Kekebalan Negara Zionis

Selain keterlibatan media, jaringan offline dan kehadiran fisik juga sama pentingnya bagi keberhasilan dan keberlanjutan upaya pembangunan komunitas Hijrah.

Dengan dukungan dari pemerintah dan perusahaan-perusahaan komersial, komunitas-komunitas Hijrah merebut ruang publik seperti mal, alun-alun kota, dan jalan-jalan. Di Bandung, misalnya, mereka berkolaborasi dengan komunitas pengendara motor untuk mengadakan konvoi setelah sholat tarawih.

Infografis ciri pakaian ideal menurut ajaran Islam. - (Republika)

 

Di Jakarta, kelompok hijrah yang dipimpin oleh para selebriti, Kajian Musawarah, meluncurkan HijrahFest pada 2018. Diadakan setiap tahun di ruang pameran-termasuk di Jakarta Convention Center dan Balai Kartini-dan menampilkan bazar halal, khutbah, dan acara bincang-bincang, acara ini telah memantapkan dirinya sebagai platform terkemuka bagi para pelaku yang terkait dengan Hijrah dan para pengikutnya.

Dihadiri oleh tokoh-tokoh terkemuka seperti mantan gubernur Jakarta, Anies Baswedan, HijrahFest dilaporkan menarik 25 ribu pengunjung dari Jakarta dan daerah sekitarnya, dan menghasilkan perputaran uang sebesar lebih dari Rp 25 miliar rupiah.

Keberhasilan HijrahFest menangkap antusiasme kaum Muslim urban untuk melakukan berbagai kegiatan: menjelajahi pameran, membeli produk halal, dan menghadiri ceramah agama yang disampaikan oleh para penceramah terkemuka.

Sejak diluncurkan, festival ini telah meluas ke luar ibu kota, memperkenalkan edisi regional dan lokakarya berskala lebih kecil di berbagai kota seperti Bandung, Bandar Lampung, Pekanbaru, Padang, Medan, Palu, dan Makassar.

Dari subkultural menjadi arus utama

Tren Hijrah merupakan puncak dari proses negosiasi, adaptasi, dan transformasi budaya yang berlarut-larut. Banyak peneliti mengaitkan kemunculannya dengan meningkatnya pengaruh Salafisme-sebuah bentuk Islam yang puritan-di wilayah ini.

Namun, yang lebih penting lagi, asal-usulnya juga bisa ditelusuri kembali ke etos yang lebih luas dalam mengadopsi cara hidup Islami, yang mendapatkan momentum di Indonesia pada tahun 1980-an seiring dengan kebangkitan kebangkitan Islam global.

Periode ini menjadi saksi kemunculan gerakan Jemaah Tarbiyah (JT), yang meletakkan dasar-dasar ideologis dan praktis bagi banyak nilai dan praktik yang kemudian dipopulerkan di bawah bendera Hijrah. Mengambil inspirasi dari Ikhwanul Muslimin Mesir, JT memperjuangkan konsep "Islam kaffah", yang berarti penerapan prinsip-prinsip Islam secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan.

BACA JUGA: Serangan Yaman yang Merepotkan Israel dan Jatuhnya Pamor Militer Amerika di Kawasan

JT mengarahkan upaya reformisnya pada dua tujuan utama: memupuk perkembangan spiritual umat Islam yang ada dan membentuk kembali sistem politik formal yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.

Berpusat pada pendidikan agama dan dakwah, gerakan ini berkembang terutama melalui kelompok-kelompok studi kecil yang terstruktur (halaqah atau liqo), terutama di universitas-universitas sekuler dan sekolah-sekolah, yang kemudian bermanifestasi menjadi kelompok-kelompok subkultur yang berorientasi pada Islam.

Info Grafis Komunitas Hijrah - (Republika)

Setelah bertahun-tahun mengalami penindasan di bawah rezim Suharto, gerakan ini mengembangkan strategi baru dalam dakwah Islam untuk memperluas pengaruhnya di ruang publik, dengan memanfaatkan tidak hanya politik arus utama tetapi juga platform populer dan online.

Khususnya, adopsi ide-ide gerakan ini oleh kalangan selebritas Indonesia memainkan peran penting dalam memungkinkan mereka untuk melampaui batas-batas subkultur mereka dan secara bertahap menembus arus utama sosial yang lebih luas.

Pengarusutamaan ini sebagian besar dimungkinkan oleh para musisi dan aktor yang secara aktif terlibat dalam dakwah pada tahun 2000-an dan 2010-an, seperti (alm) Gitto Rollies, Sakti- mantan gitaris band Sheila on 7 (alm) Jefri Al Buchori, Teuku Wisnu, dan Arie Untung. Termasuk juga rekan-rekan perempuan mereka yang memeluk hijab seperti Inneke Koesherawati, Shireen Sungkar, Dewi Sandra, dan Laudya Chintya Bella.

Dengan menggunakan berbagai platform seperti acara televisi, tulisan populer, dan media sosial, tokoh-tokoh ini mempopulerkan istilah 'Hijrah' untuk menggambarkan kesalehan yang baru mereka temukan, dengan demikian memodelkan sebuah perjalanan transformasi religius yang beresonansi dengan pemirsa muda yang lebih luas dan keinginan mereka untuk berekspresi.

Sebagai perpanjangan dari revivalisme Islam, para pengikut Hijrah sebagian besar mengacu pada penafsiran literalis yang lazim dalam Salafisme dan Islamisme, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan perempuan, kepemimpinan, dan persepsi tentang non-Muslim. Penafsiran-penafsiran ini berkontribusi pada kecenderungan konservatif Hijrah.

Sebagai contoh, studi yang sama oleh PPIM UIN Jakarta menemukan bahwa faksi-faksi tertentu dalam gerakan Hijrah, seperti Salafi yang apolitis cenderung mendukung poligami dan membatasi mobilitas perempuan.

Secara umum, dalam konteks Indonesia modern, praktik poligami masih relatif jarang dan sebagian besar dipandang negatif. Meskipun demikian, tren peningkatan praktik poligami baru-baru ini di kalangan tertentu-termasuk kalangan elite Muslim yang terkait dengan tarbiyah, telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan perempuan Muslim Indonesia.

Kelompok-kelompok lain seperti Pemuda Hijrah, meskipun lebih akomodatif terhadap gaya hidup modern, mendorong pernikahan dini melalui praktik-praktik seperti ta'aruf dan kampanye daring seperti #IndonesiaTanpaPacaran.

Selain itu, acara-acara terkait seperti HijrahFest sering mengundang tokoh-tokoh kontroversial untuk tampil, seperti Abdul Somad yang oleh sebagian kalangan dinilai kontroversial, dan Felix Siauw, yang dikaitkan dengan organisasi Islam yang sekarang dilarang, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Meskipun terkadang melibatkan beberapa pengkhutbah tertentu, para penganut Hijrah tidak selalu menentang Pancasila atau negara Indonesia, dan mereka juga tidak mendukung kekhalifahan. Namun, mereka cenderung mengadopsi perspektif yang berorientasi global, sering kali mengidentifikasikan diri dengan konsep umat global (komunitas Muslim).

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, referensi keislaman mereka beragam, diambil dari sumber-sumber seperti ajaran Salafi yang cenderung mempromosikan interpretasi Islam yang sempit, yang sering kali dicirikan oleh pandangan anti-pluralis yang mendikotomikan dunia menjadi Muslim dan non-Muslim.

Dengan demikian, gerakan Hijrah dianggap menyimpang dari perspektif arus utama NU dan Muhammadiyah. Semakin banyak tokoh dalam pemerintahan Indonesia yang menyuarakan keprihatinan ini.

BACA JUGA: Tornado Api yang Bakar Los Angeles Telah Disebutkan Alquran 14 Abad Silam? 

Sebagai contoh, Kamaruddin Amin, yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam di Kementerian Agama (Kemenag), telah menyatakan bahwa konservatisme yang diusung oleh Hijrah "tidak sesuai dengan Islam dalam konteks Indonesia."

Sebagai tanggapannya, Kemenag meningkatkan kampanye moderasi agama pada 2019 untuk menantang pengaruh gerakan ini yang terus berkembang. Seperti yang dibahas di bagian selanjutnya, inisiatif tertentu seperti HijrahFest kemudian menyesuaikan strategi mereka untuk menyelaraskan kembali dengan narasi masyarakat yang lebih luas sambil secara bersamaan memperkuat orientasi Islam eksklusif yang mendasarinya.

Baca Juga


Untuk lebih lengkapnya bisa akses pdf nya di link berikut: iseas 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler