Mengapa PT DKI Jakarta Gelar Sidang Putusan Banding Harvey Moeis Secara Terbuka?
Pembacaan putusan banding oleh pengadilan tinggi jarang digelar secara terbuka.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta pada Kamis (13/2/2025) menggelar pembacaan sidang putusan banding terhadap kasus korupsi timah yang menyeret terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) secara terbuka. Pejabat Humas Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Sugeng Riyono mengatakan bahwa sebenarnya sidang pembacaan putusan banding oleh majelis hakim pengadilan tinggi jarang digelar secara terbuka untuk umum.
"Ini merupakan suatu lompatan kebaruan sebetulnya untuk pengadilan tinggi dan suatu hal untuk menerima aspirasi publik," ujar Sugeng dalam konferensi pers di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Kamis.
Tidak hanya putusan banding terhadap Harvey, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga menggelar sidang secara terbuka terhadap putusan banding untuk terdakwa Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi, Suparta, dan Reza Andriansyah. Meski digelar secara terbuka dan bisa diliput banyak media massa, Sugeng menegaskan bahwa Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tetap mempertanggungjawabkan putusan tersebut secara hukum.
Selain itu, meski digelar secara terbuka, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga tetap tidak menghadirkan penggugat maupun tergugat dalam sidang putusan banding karena yang dibacakan hanya berkas putusan.
"Pada intinya ini bentuk keterbukaan publik," tuturnya.
Adapun vonis banding yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terhadap Harvey lebih berat daripada putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Selain memperberat vonis hukuman Harvey Moeis menjadi 20 tahun penjara, suami selebritas Sandra Dewi itu juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp1 miliar subsider 8 bulan penjara. Tak hanya itu, dia dikenai kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp420 miliar subsider 10 tahun penjara.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada PN Jakarta Pusat memvonis Harvey dengan pidana penjara selama 6 tahun 6 bulan, pidana denda Rp1 miliar subsider 6 bulan pidana kurungan, serta uang pengganti Rp210 miliar subsider 2 tahun penjara terkait dengan kasus korupsi timah.
Dalam kasus korupsi tersebut, Harvey ditetapkan bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama bersama-sama sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp300 triliun.
Kerugian tersebut meliputi sebanyak Rp2,28 triliun berupa kerugian atas aktivitas kerja sama sewa-menyewa alat peralatan processing (pengolahan) penglogaman dengan smelter swasta, Rp26,65 triliun berupa kerugian atas pembayaran biji timah kepada mitra tambang PT Timah, serta Rp271,07 triliun berupa kerugian lingkungan.
Harvey terbukti menerima uang Rp420 miliar bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim serta melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari uang yang diterima.
Dengan begitu, Harvey terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ke-1 KUHP.
Hakim Ketua Teguh Harianto mengatakan hukuman diperberat seiring dengan penerimaan upaya banding dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) dan penasihat hukum Harvey.
"Dengan demikian, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengubah putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat," ucap Hakim Ketua dalam sidang pembacaan putusan banding majelis hakim di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Kamis.
Sementara untuk pidana denda, Hakim Ketua menetapkan besaran denda yang dijatuhkan kepada Harvey tetap sebesar Rp1 miliar, namun lamanya pidana kurungan yang menjadi pengganti apabila Harvey tidak membayar denda (subsider) diperberat menjadi 8 bulan.
Pidana tambahan berupa uang pengganti kepada Harvey, juga diperberat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, menjadi Rp420 miliar subsider 10 tahun penjara.
Dalam menjatuhkan putusan banding, Majelis Hakim mempertimbangkan beberapa hal memberatkan, yakni perbuatan Harvey tidak mendukung program Pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Perbuatan terdakwa juga sangat menyakiti hati rakyat karena di saat ekonomi susah, terdakwa melakukan tindak pidana korupsi," kata Hakim Ketua menambahkan.
Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Yanto mempersilakan publik untuk menilai sendiri putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperberat hukuman terdakwa Harvey Moeis dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah dari 6 tahun dan 6 bulan menjadi 20 tahun penjara.
"Masalah adil atau tidak, biar masyarakat yang menilai. Kami tidak bisa komentar. Kita tidak bisa mengomentari produk kita sendiri," kata Yanto saat konferensi pers di Media Center MA, Jakarta, Kamis.
Hakim agung itu enggan berpendapat lebih jauh. Ia menegaskan bahwa hakim dilarang berkomentar atas suatu perkara.
"Saya enggak boleh komentar. Terhadap perkara yang sedang berjalan, hakim dilarang, baik itu yang sedang berjalan maupun tidak," ucap Yanto.
Adapun, Kejaksaan Agung menyatakan menghormati putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperberat hukuman terdakwa kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk tahun 2015–2022, Harvey Moeis, menjadi 20 tahun penjara.
"Tentu kami menghormati putusan yang telah diambil oleh hakim atas banding jaksa penuntut umum. Apalagi yang bersangkutan dihukum penjara maksimal selama 20 tahun, termasuk pengenaan uang pengganti dan subsidernya," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar ketika dihubungi di Jakarta, Kamis.
Menurutnya, ini adalah suatu mekanisme persidangan dengan hakim pengadilan yang lebih tinggi boleh sependapat ataupun tidak sependapat dengan putusan lain di bawahnya dengan berbagai pertimbangan, antara lain keadilan hukum dan masyarakat.
Oleh karena itu, Korps Adhyaksa menghormati putusan yang telah dijatuhkan. Harli menambahkan Kejagung belum menerima salinan resmi putusan.