Tradisi, Ekonomi, dan Religiositas Uang Baru Lebaran
Lebaran tanpa uang baru bagai ketupat tanpa opor, tetap bisa dinikmati tapi kurang lengkap rasanya
Oleh: Ikhsan Rosyid Mujahidul Anwari, Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
"Lebaran tanpa uang baru bagai ketupat tanpa opor, tetap bisa dinikmati tapi kurang lengkap rasanya"
Menjelang Hari Raya Idul Fitri, ada satu fenomena unik yang selalu muncul di berbagai daerah. Dari kota besar hingga pelosok desa terlihat antrean panjang di bank maupun jasa penukaran uang pinggir jalan guna menukarkan uang kertas baru. Masyarakat rela antre di bank untuk menukarkan uang pecahan dua ribuan, lima ribuan, sepuluh ribuan, dan duapuluh ribuan yang masih baru. Bahkan sebagian besar lainnya rela memilih menukarkan pada jasa penukaran uang ada dipinggir jalan protokol yang tentu saja disertai dengan uang jasa. Fenomena ini tentu saja menunjukkan bahwa uang baru bukan hanya sekadar alat transaksi dalam ekonomi saja, namun juga memiliki makna simbolik tradis budaya, sosial, dan religiositas umat Islam di Indonesia.
Ya, tradisi berbagi uang baru pada hari raya bukanlah fenomena baru. Dalam catatn sejarah, pada masa kerajaan Islam di Nusantara telah menjadi kebiasaan bagi Sultan untuk berbagi uang kepada rakyat kecil. Seperti yang dilakukan oleh Sultan Demak dan Sultan Mataram Islam yang memberikan hadiah berupa koin emas pada saat hari raya sebagai simbol kemurahan hati dan keberkahan Idul Fitri.
Tradisi ini tetap berlangsung pada masa penjajahan Belanda. Para Pejabat bumiputra yang beragama Islam dan para saudagar terpandang sering membagikan uang receh kepada anak-anak sebagai tanda kegembiraan dalam rangka menyambut hari kemenangan. Seiring berjalannya waktu, tradisi ini berkembang saat ini dengan kemunculan uang kertas. Salah satu makna simbolik yang dibagikan uang kertas baru selaras dengan semangat Islam yakni merayakan hari Raya Idul FItri dengan sesuatu yang baru termasuk pemberian uang kertas baru untuk anak-anak.
Kalau dirunut lebih jauh, tradisi berbagi uang pada saat ahri raya Idul Fitri sebenarnya sudah ada jauh sejak para khalifah di era Abbasiyah maupun Umayah dalam mendistribusikan hadiah kepada rakyatnya. Tradisi ini kemudian tetap terjaga dan menyebar ke berbagai negara muslim termasuk di Indonesia.
Tradisi pemberian uang baru pada anak-anak kecil saat hari raya Idul FItri telah menyebar di berbagai pelosok Indonesia. Masing-masing daerah memberikan istilah sesuai dengan budaya yang berkembang dan menjadi ciri khas budaya masing-masing daerah. Pada masyarakat Jawa ada yang menyebut "angpau lebaran" karena mirip tradisi angpau Imlek masyarakat Tionghoa, juga ada yang menyebut "THR kecil", "fitrah", di sekitar wilayah Tulungagung-Kediri-Blitar disebut "galak gampil". Pada masyarakat Sumatera Barat disebut "pitih sanang" (uang senang), di Bugis dikenal dengan "duwe", di Betawi dikenal dengan "uang salam tempel", di Makassar digunakan istilah "gammara", dan berbagai istilah di berbagai daerah.
Mengapa harus uang baru? Ada berbagai alasan masyarakat lebih memilih membagikan uang baru dibandingkan uang lama. Pertama, uang baru dianggp lebih bersih dan higienis, terlebih paska pandemi Covid-19 dimana masyarakat terjadi peningkatan kesadaran akan kebersihan transaksi uang tunai. Kedua, uang baru memiliki daya tarik visual sehingga memberikan kesan eksklusif dan istimewa. Ketiga, anak-anak lebih senang dan antusian menerima uang baru. Dalam banyak budaya, sesuatu yang baru melambangkan harapan baru, keberkahan, dan kemurnian yang selaras dengan semangat Idul Fitri sebagai hari kemenangan dan penyucian diri. Selain itu, bagi pemberi uang merasa puas membagian uang baru kaerna ingin memberikan yang terbaik sebagai ekspresi kasih sayang dan kemurahan hati di hari raya.
Tradisi ini bukan hanya sekedar memberikan uang baru, namun juga membangun kehangatan sosial. Anak-anak dengan wajah ceria mengunjungi rumah sanak saudara, bersalaman sambil mengucapkan mohon maaf lahir dan bathin dengan versi masing-masing daerah, kemudian akan menerima uang baru dari tuan rumah. Tidak jarang, nominal uang yang diberikan disesuaikan dengan tingkat kedekatan maupun usian anak.
Secara religiositas, tradisi berbagi uang baru pada hari raya Idul Fitri memiliki akar kuat dalam ajaran Islam. Islam mengajarkan pentingnya berbagi rezeki dengan istilah zakat, amal sodaqoh, dan infaq khususnya kepada mereka yang kurang mampu (termasuk kepada yang lebih muda). Sehingga momen hari raya Idul Fitri betul-betul memberikan kesan penuh suka cita kemenangan bagi anak-anak.
Bentuk konkret dari ajaran ini adalah zakat fitrah. Pemberian uang baru kepada anak-anak dapat dipandang sebagai perpanjangan dari semangat berbagi tersebut meskipun sifatnya lebih kepada tradisi dibandingkan kewajiban agama.
Fenomena penukaran uang abru menjelasng lebaran juga memiliki dampak ekonomi signifikan bagi masyarakat. Berdasarkan catatan, Bank Indonesia telah menyiapkan uang baru layak edar sebanyak 180 triliun rupiah untuk memenuhi kebutuhan uang tunai pada momen lebaran tahun 2025. Dari sini bisa dilihat jika peredaran keuangan pada saat lebaran cukup tinggi dan benyak transaksi dilakukan di daerah-daerah. Sehingga setidaknya membantu perputaran uang sampai pelosok desa.
Disisi lain, munculnya jasa penukaran uang baru di pinggir jalan menjadi peluang ekonomi bagi sebagian masyarakat. Meskipun sering kali dikenakan biaya jasa yang lebih tinggi dibandingkan penukaran di bank. Banyak orang tetap memilih layanan ini karena aspek praktis dan tidak perlu mengantre lebih lama. Fenomena ini menunjukkan bahwa kebutuhan uang baru menjelasng Idul Futri telah menjadi bagian dari siklus ekonomi tahunan.
Namun ada aspek negatif dari fenomena ini adalah praktik peredaran uang palsu. Permintaan tinggi terhadap uang baru sering kali terjadi praktik peredaran uang palsu. Oleh karena itu, masyarakat dihimbau untuk selalu berhati-hati dalam melakukan penukaran uang dan memastikan keasliannya.
Dalam perspektif budaya, fenomena ini memperkuat solidaritas masyarakat. Memberi uang kepada anak-anak bukan sekadar transfer ekonomi, tetapi merupakan salah satu cara menjaga hubungan sosial dan mempererat ikatan kekeluargaan. Hal ini sesuai dengan konsep gotong royong dan kebersamaan yang menjadi ciri khas budaya Indonesia sesuai dengan nilai Pancasila. Meskipun kadang anak-anak berpikir materialistis menjalin silaturahmi karena berharap mendapatkan pemberian uang baru.
Fenomena penukaran uang baru menjelang hari raya Idul FItri bukan hanya sekadar rutinitas ekonomi semata, namun juga bagian dari tradisi religiositas masyarakat Muslim di Indonesia. Uang baru memberikan makna simbolis bagi tradisi, ekonomi, dan religiositas. Namun demikian masyarakat perlu memahami batasan-batasan agar tradisi ini tetap berjalan dengan makna positif. Menanamkan nilai-nilai kebersamaan, keseimbangan, dan kebijaksanaan dalam pengelolaan uang.
Fenomena ini akan terus menjadi bagian dari identitas sosial memperkaya budaya bangsa tanpa melupakan esensi Idul Fitri yang sejati. Esensi merayakan Idul Fitri sebagai kemenangan dalam menahan hawa nafsu dan berbagai kebahagiaan dengan sesama. Penukaran uang baru juga juga sebagai pemerataan ekonomi sampai ke pelosok desa.