ICW: 4 Kandidat Mantan Koruptor Lolos Maju Pilkada 2020
ICW minta KPU RI kaji serius putusan Bawaslu daerah terkait kandidat Pilkada.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya ada empat calon kepala daerah yang maju dalam Pilkada 2020 merupakan mantan terpidana kasus korupsi. Hal ini menimbulkan persoalan kepatuhan hukum atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait masa tunggu lima tahun bagi eks narapidana yang mencalonkan diri dalam pilkada.
Empat kandidat eks koruptor itu berada di Kabupaten Nias Utara, Sumatra Utara; Kabupaten Lampung Selatan, Lampung; Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, serta Provinsi Bengkulu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan calon (paslon) tersebut tidak memenuhi syarat (TMS) pencalonan, tetapi kemudian dibatalkan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
"KPU menyatakan TMS, tetapi dibatalkan oleh Bawaslu," ujar Peneliti ICW Egi Primayogha saat dikonfirmasi Republika, Senin (26/10).
Dengan demikian, mereka bisa kembali mencalonkan diri dalam kontestasi pilkada. Sedangkan, kata Egi, KPU Nias kembali membatalkan pencalonan paslon di Kabupaten Nias usai adanya keputusan Bawaslu tersebut.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menjelaskan Bawaslu setempat memberikan pertimbangan hukum yang berbeda terhadap putusan MK. MK dalam putusan nomor 56/PUU-XVII/2019 mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, terkait masa tunggu bagi mantan terpidana maju pilkada.
MK menyatakan, bagi mantan terpidana, kecuali terhadap pidana kealfaan dan tindak pidana politik, yang mencalonkan diri di pilkada, telah melewati jangka waktu lima tahun, setelah menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Namun, putusan Bawaslu Lampung Selatan dalam penyelesaian sengketa pencalonan berpendapat, jika yang bersangkutan tidak menjalani hukuman penjara, maka tidak termasuk sebagai orang yang harus menjalani masa tunggu. Fadli menjelaskan, masa tunggu lima tahun itu berlaku bagi mereka yang dijatuhi ancaman hukuman lima tahun atau lebih.
Sementara, Bawaslu Dompu beragumentasi, masa tunggu juga dimulai ketika seorang terpidana keluar dari lembaga pemasyarakatan (lapas). Padahal, kata Fadli, orang yang keluar dari lapas belum tentu statusnya sudah menjadi mantan terpidana.
Ia menjelaskan, mantan terpidana ialah orang yang selesai menjalani hukuman pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Yang bersangkutan benar-benar tidak lagi memiliki kewajiban hukum yang berkaitan dengan status pidananya.
Ia menegaskan, masa tunggu dimulai ketika seorang terpidana berstatus sebagai mantan terpidana, bukan setelah dijatuhi hukum pidana. Fadli meminta Bawaslu tidak melompat jauh dengan memberikan tafsir baru dan penilaian baru atas putusan MK, dalam menangani penyelesaian sengketa proses pencalonan kepala daerah.
Menurut dia, Bawaslu cukup menguji apakah keputusan KPU yang menetapkan seseorang tidak memenuhi syarat calon dan pencalonan sudah benar atau tidak. Dengan demikian, alat uji dari Bawaslu hanya sederhana, yaitu dokumen-dokumen persyaratan untuk syarat calon dan pencalonan sudah memenuhi ketentuan atau tidak.
Fadli meminta KPU RI melakukan pengkajian lebih serius terhadap putusan-putusan Bawaslu daerah. KPU harus mengambil tindakan tegas terhadap putusan Bawaslu yang melenceng dari Peraturan KPU (PKPU), peraturan perundangan-undangan, dan putusan MK.
Fadli juga meminta Bawaslu RI mengoreksi putusan dan rekomendasi Bawaslu daerah, apabila terdapat hal yang bertentangan dengan peraturan di atas. Sebab, Bawaslu RI memiliki kewenangan itu demi memberikan kepastian hukum.
"Kalau tidak, akan terjadi ketidakpastian hukum, akan terjadi ketidakpatuhan terhadap putusan pengadilan, apalagi putusan konstitusional terhadap syarat seorang yang bisa menjadi calon kepala daerah," tutur Fadli.