Oleh: Arif Supriyono
Wartawan Republika
Allah Swt telah memperlihatkan kuasa-Nya. Melalui izin-Nya, pada Jumat 2 Desember 2016 telah berlangsung demonstrasi atau aksi yang teramat indah di Jakarta.
Bagaimana tak indah? Lebih dari 2,5 juta manusia berkumpul dalam suatu aksi unjuk rasa yang berjalan begitu damai dan teduh. Tak ada sumpah serapah dalam unjuk rasa yang bertajuk Aksi Damai 212 tersebut, meski mereka mengajukan tuntutan agar Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) --tersangka penistaan Alquran-- ditahan.
Sejak subuh hingga menjelang shalat Jumat, mereka berbondong-bondong menuju pusat aksi di kawasan Monumen Nasional yang lebih dikenal dengan nama Monas, Jakarta. Mereka begitu tertib menuju lokasi. Di sepanjang jalan pun banyak peserta aksi yang membagikan minuman, kue, dan makanan secara cuma-cuma.
Mereka tak hanya datang dari Jakarta dan sekitarnya. Ada yang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Bahkan tak sedikit yang berasal dari beberapa provinsi di Pulau Sumatra, Kalimantan, serta Sulawesi. Dengan dominasi baju putih, semua tumpah ruah menuju Jakarta.
Tak pernah saya melihat demo dengan massa sebanyak itu dan berjalan sangat tertib. Kawasan Monas yang begitu luas, nyaris penuh massa. Dari Monas menuju bundaran patung kuda sampai Jl MH Thamrin dan bundaran Hotel Indonesia juga penuh umat di kedua ruas jalan yang lebar itu. Di ruas Jl Medan Merdeka Barat dan Selatan jangan ditanya lagi, tumplek blek massa di sana.
Bagi saya, mungkin inilah unjuk rasa dengan jumlah massa paling banyak sepanjang sejarah berdirinya negara kita. Bisa jadi pula, ini termasuk unjuk rasa dengan jumlah massa terbesar di belahan dunia.
Tentu wajar bila ada yang bertanya, siapa yang menggerakkan elemen massa seperti ini? Rasanya hampir mustahil kalau mereka semata-mata hanya digerakkan oleh tokoh-tokoh ulama tanpa ada rasa yang tumbuh di hati mereka.
Pengerahan massa saat kampanye, mobilisasi rakyat oleh aparat, dan menghadiri acara keagamaan yang dihelat ormas Islam pun tak pernah semasif ini. Tak lain dan tak bukan, penggerak utama massa untuk ikhlas berbondong-bondong menuju Jakarta adalah nurani mereka. Rasa untuk tidak bisa menerima penistaan atas Surat Almaidah 51 oleh Ahok telah menumbuhkan harga diri yang begitu tinggi sehingga tak sedikit yang menganggap ini sebagai medan jihad.
Menuduh mereka yang ikut unjuk rasa hanya semata-mata untuk mendapatkan uang Rp 500 ribu, sebagaimana pernah disampaikan oleh seorang intelektual dan juga Ahok, tentulah sikap dan pikiran yang teramat picik. Tudingan itu tidak bisa menjelaskan, bagaimana ribuan orang dari Ciamis, Jawa Barat, begitu rela berjalan kaki menuju Jakarta walau tak semuanya bisa sampai.
Itu mereka lakukan karena aparat kepolisian sempat melarang pengusaha bus untuk menyewakan kendaraannya bagi pengunjuk rasa Aksi Damai 212. Tak juga bisa dinalar, sebagian massa harus naik pesawat untuk menuju Monas. Bahkan, seorang pria di Aceh malah menjual mobilnya seharga Rp 116 juta, demi hasratnya bisa ikut aksi tersebut.
Apakah dengan demikian tak ada yang membiayai unjuk rasa tersebut? Pasti ada pihak yang mendanai. Lihat saja, begitu banyak warga Jakarta yang membuat dapur umum untuk kepentingan para pengunjuk rasa. Tak sedikit pula pihak yang saweran hingga ada yang bisa terkumpul sampai ratusan juta rupiah.
Sudah barang tentu pula ada pihak yang mendapat manfaat dari dana yang terkumpul. Namun, kalaupun ada yang berupaya sekadar mengambil untung, saya yakin jumlahnya sangat sedikit. Hasrat bersikap culas itu masih kalah banyak dengan getaran nurani yang membimbing langkah meraka untuk tulus menegakkan kebenaran agama yang diyakininya dengan cara bergotong royong membantu para peserta demo.
Mengaitkan aksi Damai 212 hanya semata berhubungan dengan pemilihan kepala daerah di Jakarta pada tahun 2017 nanti, pastilah sebuah analisis yang amat dangkal. Massa yang datang ke Monas bisa jadi jauh lebih banyak yang berasal dari luar Jakarta dan tak punya sangkut-paut dengan pilkada. Andaikata ada pihak yang mencoba untuk mendompleng pada aksi ini demi kepentingan politik mereka, mungkin saja itu ada. Namun, itu tampaknya tak berpengaruh besar pada tujuan utama demo tersebut.
Kekaguman atas Aksi Damai 212 itu kian mengental karena ketertiban yang mereka ciptakan. Tak ada aksi merusak. Semua tanaman dan bahkan rumput Monas pun seolah ikut tersenyum menyapa dengan ramah kehadiran para pengunjuk rasa.
Sampah berserakan yang senantiasa mengiringi setiap ada kerumunan, sepanjang pagi hingga siang itu nyaris tak terlihat. Tim pemungut sampah seakan tak lelah untuk mengambil setiap ada sisa makanan atau kertas dan plastik yang terjatuh. Adagium ‘kebersihan adalah sebagian dari iman’ bena-benar tecermin dalam aksi ini.
Hal yang juga mengagumkan dalam demonstrasi kali ini adalah saat menjelang shalat Jumat dan hujan turun begitu deras. Saya sempat menduga, bisa jadi hujan akan membuyarkan aksi unjuk rasa tersebut. Dugaan saya ternyata salah besar.
Mereka seolah tak beringsut dari posisinya meski hujan deras menimpanya. Tak sedikit yang sudah siaga yang dengan segera mengeluarkan jas hujan atau plastik pelindung dari kucuran air yang turun dari langit. Mereka tetap khusyu mendengarkan tausiyah dan menjalani shalat Jumat.
Tiba-tiba saya merinding melihat dan merasakan fenomena ini. Pertahanan emosi saya pun jebol karenanya. Lelehan air mata perlahan-lahan menyentuh pipi. Meresapi hal itu, saya seolah mendapatkan nikmat yang luar biasa. Sungguh luar biasa Aksi Damai 212 itu. Allah memang Mahabesar.
Usai acara Aksi Damai 212, mereka meninggalkan arena dengan begitu tertib. Sampah pun tak ada yang dibiarkan berserakan. Petugas pembersih sampah begitu aktif menjalankan misi utamanya, membuat arena Monas tetap bersih seperti semula. Rerumputan, aneka bunga, dan pepohonan seolah ikut tersenyum dan melambai-lambaikan daunnya pada peserta aksi --sebagai ungkapan selamat jalan-- yang telah begitu besar menjaga dan menghargai keberadaannya.
Sikap santun dan terpuji jutaan massa yang mewakili pelbagai komponen umat ini sekaligus mempertontonkan kepercayaan mereka, bahwa aparat akan bertindak adil dan bisa memenuhi rasa keadilan yang ada di dada umat saat ini. Jika mereka tak menaruh kepercayaan pada aparat, tentu yang muncul adalah tindakan anarkis dan kerusakan di mana-mana.
Rakyat hanya ingin rasa keadilan mereka terpenuhi. Untuk itulah mereka berharap pada aparat agar harapan tersebut bisa terwujud. Kehadiran Presiden Joko Widodo (selama ini dianggap melindungi Ahok), Wapres Jusuf Kalla, Kapolri Tito Karnavian (semula menuding aksi ini sebagai tindakan makar), serta beberapa menteri yang aman-aman saja, juga menjadi bukti lain besarnya kepercayaan umat pada mereka.
Tentu semua menunggu, apakah rasa keadilan rakyat ini bisa terpenuhi. Jangan sampai kelakar beberapa teman menjadi kenyataan. Aksi 4 November (411) layaknya thawaf (berjalan mengelilingi kakbah), aksi 212 adalah wukuf (berdoa di Padang Arafah), dan aksi selanjutnya adalah melempar jumrah (melempari dengan batu kecil). Saya berdoa agar kelakar itu tak akan pernah terjadi.