REPUBLIKA.CO.ID, Aku baru saja menyelesaikan shalat Maghrib ketika Yakub, adikku yang bungsu, menelepon. Mula-mula, menanyakan apakah ibu ada di rumahku. Ketika aku jawab tidak, dia mengabarkan hal yang membuatku terperangah. Ibu tak ada di rumah. Sudah empat hari tak pulang-pulang.
Rumah dibiarkan tidak terkunci. Tak ada barang yang hilang, tak juga berantakan. "Berarti ibu nyingge," ujarku.
Tapi, aku khawatir ibu diculik orang. "Adikku waswas sebelum menutup telepon. Ketika aku ceritakan telepon Yakub kepada istriku, ia sedikit kaget. Pasti ada masalah lagi," kata dia.
Ibu memang sering sekali begitu. Jika tak mampu menyelesaikan masalah, ia nyingge. Sependek ingatanku, sebelumnya sudah dua kali ibu nyingge.
Pertama, ketika ada masalah dengan pacarku dulu saat masih kuliah. Saat keluarga pacarku nompohke rumah, ibu malah pergi entah ke mana sambil menangis. Untung waktu itu masih ada bapak sehingga masalah bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan.
Kedua, ketika Radi, adikku nomor dua yang jadi dosen, ada masalah dengan mahasiswinya. Istrinya curhat pada ibu dan meminta solusi. Bukannya mendapatkan jawaban bijak, ibu malah pergi dari rumah.
Sekali lagi, sambil menangis.
Kali ini, kira-kira tiga empat bulan lalu setelah acara haul 1.000 hari meninggalnya bapak, ibu curhat kepadaku. Memang dari tiga anaknya hanya aku satu-satunya anak yang jadi tempat berbagi setelah bapak meninggal. Tiap aku pulang ibu akan bercerita banyak hal, meski sampai larut malam.
"Bagaimana kalau aku menikah lagi?" Sebelum mengajukan pertanyaan itu, ibu bercerita ada lelaki yang mendekatinya. Seorang ustaz.
Pertanyaan itu kontan saja membuatku naik pitam. Entah mengapa bagiku kesetiaan itu penting. Toh, banyak orang yang ditinggal mati pasangannya masih bisa hidup sendiri dan berbahagia tanpa harus menikah lagi.
Tentu tidak nyaman hidup sendirian.Tapi, semua orang tohpada akhirnya akan sendirian. Orang harus belajar kembali kepada akar. Yang bermula sendirian akan berakhir sendirian. Kurang apa cinta bapak pada ibu. Sejak awal pacaran, meski saat bertandang ke rumah ibu, bapak selalu diolok-olok enthok: (bebek), toh bapak bergeming. Padahal, waktu itu ibu sudah dijodohkan sama famili jauhnya yang AKABRI. Akhirnya, bapak juga yang menang.
Aku tegas menjawab: "Nggak!" Lalu berlalu pergi. Ibu diam saja. Tatapannya kosong.
Setelah kupikir matang, aku terlalu berlebihan ketika menolak keinginan ibu menikah lagi. Setiap orang punya daya tahan sendiri menghadapi kesepian. Aku tahu ibu mencintai bapak. Juga sebaliknya.
Aku sadar ibu tidak muda lagi. Usianya sudah 50 tahun. Jadi rencananya menikah lagi adalah perkara melalui sisa hidup dengan pasangan yang bisa diajak me ngobrol banyak hal dan melakukan berbagai hal bersama. Tidak mudah mengikis cinta bapak di dalam pikiran ibu. Tapi, pada akhirnya seseorang butuh teman untuk berbagi di sisa hidupnya yang menua dan terus ringkih.
Setelah kejadian itu, ibu tak pernah lagi mengungkapkan keinginannya itu. Jika saat itu tiba, dengan besar hati, aku akan menjawabnya: "Iya."
Ibu perlu menikah lagi dan berbahagia. Aku yakin di alam kubur sana, bapak akan setuju dengan keputusanku. Sayang, ibu memilih nyingge.
Namun, ibu nyingge tak pernah lama. Paling lama dua hari. Jadi kalau sampai empat hari pasti ada masalah serius. Dan itu artinya aku harus segera mencari ibu, malam ini juga. Tentu saja aku mengajak istriku. Lagipula sudah hampir tiga bulan aku tak pernah pulang.
"Sekarang?" tanya istriku.
"Iya."
"Aku tahu di mana ibu berada."
Aku sudah menunggu di atas motor ketika istriku berkali-kali keluar-masuk ruang tamu. Seperti sedang mencari sesuatu.
Namun, beberapa menit mondar-mandir seperti ayunan dimainkan anak-anak ia belum juga menemukan apa yang dicarinya.
"Mama cari apa?" Aku bertanya sambil menggeber-geber gas.
"Helm!"
"Tuh yang dipakai apa?"