Selasa 10 Mar 2020 10:17 WIB

Kiat Hadapi Rasa Cemas Setelah Menyimak Berita Buruk

Berita-berita buruk yang datang silih berganti membuat orang merasa cemas.

Rep: Puti Almas/ Red: Reiny Dwinanda
Tampilan layar kamera jurnalis televisi saat konferensi pers pasien suspect virus corona (Covid-19) di RSUP Hasan Sadikin, Kota Bandung, Jawa Barat. Berita-berita buruk yang datang silih berganti membuat orang merasa cemas.
Foto: Republika/Abdan Syakura
Tampilan layar kamera jurnalis televisi saat konferensi pers pasien suspect virus corona (Covid-19) di RSUP Hasan Sadikin, Kota Bandung, Jawa Barat. Berita-berita buruk yang datang silih berganti membuat orang merasa cemas.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Di zaman dengan perkembangan teknologi saat ini, melihat berbagai berita yang bertebaran di dunia maya sudah menjadi hal lazim. Tak jarang diantaranya merupakan berita-berita buruk, yang tidak ingin Anda ketahui.

Berbagai berita buruk tersebut juga sering kali membuat orang-orang merasa khawatir dan cemas. Jika demikian, apa yang sebaiknya dilakukan untuk menghindari kondisi yang sangat mungkin juga dapat Anda alami ini?

Baca Juga

Dilansir Medical News Today, rasa cemas dan khawatir telah terjadi pada banyak orang sejak berabad-abad lalu dengan beragam penyebab. Belakangan, wabah penyakit, kriminalitas, hingga ketidakpastian ekonomi menjadi pemicu munculnya rasa cemas dan khawatir.

Ketika dihadapkan dengan kecemasan dari berita-berita negatif yang terasa seperti siklus konstan, salah satu hal terbaik untuk dilakukan adalah menjauh dan tidak melihat berbagai laporan-laporan terkait, setidaknya untuk sementara waktu. Bagi sebagian orang, rasa cemas dan putus asa karena paparan berkelanjutan dari berita-berita buruk tersebut bahkan dapat menghalangi produktivitas dalam kehidupan sehari-hari.

Seorang yang mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD) kompleks mengatakan bahwa tidak melihat dan mendengar berita-berita buruk adalah satu-satunya cara mengatasi kecemasan. Ia memilh untuk tidak membaca berita dan menonton televisi untuk menghindari rasa cemas sepenuhnya.

“Memang itu berarti saya tidak tahu informasi tentang apa yang terjadi di dunia dan saya merasa buruk karena nanti mendengarnya, namun itu juga berarti saya sementara dapat tidur dan bangun dengan nyaman di pagi hari,” ujar seseorang yang tidak disebutkan namanya tersebut.

Katherine C Nordal selaku direktur eksekutif American Psychological Association (APA) sependapat. Ia menjelaskan pentingnya mengambil jeda dari siklus berita dan beralih ke kegiatan lain.

Nordal mengatakan, orang tetap perlu mendapat informasi yang cukup. Di lain sisi, orang juga perlu merencanakan kegiatan yang membuat dirinya terbebas dari berbagai aktivitas atau masalah yang dapat membuat tekanan.

“Bacalah berita untuk tetap mendapatkan informasi, tetapi rencanakan kegiatan yang memberi Anda kesempatan beristirahat teratur dari masalah dan tekanan yang mungkin ditimbulkannya. Dan ingat untuk menjaga diri sendiri dan memperhatikan hal lain dalam hidup Anda,” jelas Nordal.

Berita-berita seputar apa yang terjadi di dunia bisa membuat orang yang membacanya merasa tidak berdaya. Namun, daripada menghindari, salah satu cara mengatasi kecemasan adalah dengan fokus membantu memecahkan masalah tersebut.

Setiap orang dapat melakukan sedikit sesuatu untuk membuat dunia lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan berkontribusi pada perubahan positif dalam komunitas, keluarga, atau bahkan diri sendiri.

Seorang pembaca yang berbicara dengan Medical News Today mengatakan bahwa paparan terus-menerus terhadap berita buruk membuatnya ingin beraksi, melakukan sesuatu yang berguna. Ia pun kemudian melakukannya, di tingkat lokal.

"Saya merasa tidak berdaya dan tidak berguna setelah melihat berita buruk, jadi saya bergabung dengan partai politik kecil tapi bersemangat," ujar pembaca tersebut.

Selain itu, saat rentetan berita buruk dapat menjangkau kita terlalu mudah, terkadang perlu cara untuk menemukan berita yang positif. Meski mungkin merasa bahwa adalah tanggung jawab kita untuk memahami apa yang salah di dunia sehingga kita dapat menemukan cara untuk memperbaikinya, penting juga untuk mengetahui apa yang berjalan dengan baik sehingga kita merasa lebih termotivasi.

Dalam sebuah penelitian dari University of Sussex, di Brighton, Inggris, diketahui bahwa saat menonton, membaca, atau mendengarkan berita negatif, itu dapat memperburuk irangkita untuk khawatir dan merumuskan skenario bencana tentang masalah mereka masing-masing. Bahkan, saat mereka sebenarnya tidak memiliki hubungan yang jelas dengan topik berita tersebut.

“Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa orang-orang yang menyaksikan program berita yang didominasi sudut padang negatif melaporkan adanya peningkatan kecemasan dan kesedihan hingga kemudian mengarah pada kekhawatiran pribadi yang meningkat,” tulis para peneliti.

Itulah sebabnya Karen McIntyre dari Virginia Commonwealth University, di Richmond, dan Cathrine Gyldensted dari Open Eyes Institute di Amsterdam, Belanda, berpendapat bahwa masyarakat membutuhkan jurnalisme yang lebih konstruktif. Kedua peneliti menciptakan istilah ini untuk menggambarkan jenis jurnalisme yang lebih berfokus pada solusi yang mungkin untuk masalah dan menyajikan ‘sisi lain’ daripada hanya berfokus pada masalah itu sendiri.

"Jurnalisme konstruktif berupaya untuk mengimbangi penggambaran miring yang terjadi di dunia, yang dihasilkan oleh jurnalisme berita klasik dan memperkuat etika jurnalistik tradisional," tulis McIntyre dan Gyldensted.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement