REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*
Jumlah kasus positif corona atau Covid-19 menembus angka psikologis 1.000 kasus pada pekan ini. Pada Sabtu (28/3), total kasus positif mencapai 1.555 kasus dengan angka kematian 102 orang. Jumlah pasien sembuh juga bertambah meski sedikit, dengan total pasien pulih 59 orang.
Jika awalnya beberapa kasus pertama diumumkan oleh pemerintah merupakan kasus impor (imported case), saat ini puluhan hingga seratusan kasus baru yang diumumkan setiap hari telah menunjukkan bahwa kasus-kasus baru muncul adalah hasil dari transmisi lokal (local transmission). Layaknya terjadi di negara-negara lain yang juga tengah memerangi Covid-19, akselerasi kasus melaju secara eksponensial atau kelipatan.
Belum ada negara yang berhasil membendung ledakan kasus setelah wabah Covid-19 pecah, bahkan negara-negara maju sekalipun, seperti di benua Eropa dan negara adidaya Amerika Serikat (AS). Negeri Paman Sam bahkan saat ini telah mengungguli China dengan temuan kasus positif Covid-19 terbanyak di dunia. Yang membedakan di antara negara-negara yang dilanda badai Covid-19 saat ini adalah dalam hal bagaimana tiap negara menekan angka kematian, meski jumlah kasus positif ditemukan berjumlah ribuan.
Pada awal pekan ini, New York Times merilis infografis interaktif dengan judul "How The Virus Got Out?" yang menggambarkan bagaimana empat kasus positif pertama Covid-19 melipat ganda menjadi puluhan ditemukan di Wuhan, China pada akhir Desember 2019. Dengan rata-rata satu pasien positif menularkan kepada tiga orang lain, pemerintah China akhirnya resmi melaporkan penyebaran corona jenis baru sebagai wabah kepada WHO pada 31 Desember 2019.
Pecahnya (outbreak) wabah di Wuhan yang kemudian meluas di daratan China mendapatkan momentumnya saat Tahun Baru China 2020. Setidaknya, 175 ribu orang meninggalkan Wuhan untuk pulang kampung pada 1 Januari. Jumlah orang yang pergi meninggalkan Wuhan terus bertambah selama tiga pekan kemudian, dengan perkiraan total 7 juta warga meninggalkan kota tersebut.
Saat pemerintah China menyadari telah terjadi penularan virus corona antarmanusia pada 21 Januari 2020, wabah telah pecah di Beijing, Shanghai dan kota-kota besar lainnya di China. Pada 23 Januari, Wuhan di-lockdown yang diikuti beberapa kota lain pada pekan berikutnya. Perjalanan di China nyaris berhenti total, namun, transmisi virus secara lokal sudah tak bisa dibendung.
Lantaran kebijakan pemberlakukan lockdown tidak cukup, pemerintah China kemudian menggencarkan tes sebagai langkah untuk mengidentifikasi para suspect dan kemudian mengisolasi para kontak dekat (close contact) dengan suspect tersebut. Kombinasi lockdown dan tes secara masif terbukti menjadi titik balik di Wuhan. Saat ini, pemerintah China telah membuka lockdown di Wuhan dan mengklaim hanya menemukan kasus baru yang berasal dari luar negeri (impor), bukan transmisi lokal.
Cerita sukses karantina wilayah juga bisa ditiru dari Vietnam. Meski berbatasan langsung dengan China, kasus positif Codvid-19 di Vietnam saat ini hanya seratusan kasus dengan nol angka kematian. Sejak Januari, pemerintah Vietnam langsung "mendeklarasikan perang" terhadap corona.
Vietnam telah mengaggap corona sebagai musuh bahkan sebelum virus itu tiba di negara mereka. Menyadari ketidakmampuan mereka secara ekonomi untuk menggelar tes massal seperti yang dilakukan Korea Selatan, Vietnam mengambil jalan tegas soal karantina wilayah dan pelacakan lengkap terhadap semua orang yang datang dari luar yang berasal dari negara endemi.
Sebagai contoh, pada 12 Februari, Vietnam mengkarantina salah satu kota berpenduduk 10 ribu di dekat Hanoi selama tiga pekan saat kasus positif baru berada pada angka 10 kasus. Otoritas setempat juga secara meluas dan teliti mendokumentasi setiap orang yang berpotensi melakukan kontak dekat dengan suspect Covid-19.
Pemerintah Vietnam menggunakan kekuatan militer dan intel Partai Komunis untuk berjaga di setiap jalan dan persimpangan di tiap permukiman dan kompleks. Mereka memata-matai dan mengambil tindakan tegas terhadap warga yang melanggar masa karantina wilayah.
Di Indonesia, seperti yang telah saya ulas pada paragraf awal, akselerasi kasus positif baru sepertinya baru saja dimulai pekan lalu. Dan kita bakal menyongsong ledakan kasus baru jika tidak ada kebijakan radikal yang diambil pemerintah.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang telah menginstruksikan tes cepat (rapid test) di daerah zona merah seperti DKI, Banten, dan Jawa Barat. Tetapi, soal lockdown atau karantina wilayah, antara pusat dan daerah belum satu suara.
Pada Jumat (27/3), Menko Polhukam Mahfud MD memberikan sinyal bahwa pemerintah akan menerapkan karantina kewilayahan (Mahfud tidak mau disebut sebagai lockdown) pada pekan depan. Kriteria, syarat, dan tata cara suatu daerah bisa mengkarantina wilayahnya, kata Mahfud, akan diatur lewat suatu Peraturan Pemerintah.
Apa pun istilah nantinya yang akan digunakan oleh pemerintah, China dan beberapa negara lain telah membuktikan mengunci atau mengkarantina wilayah di mana Covid-19 mewabah sangat efektif untuk menekan penyebaran virus antarmanusia. Dan harus diingat, dalam dua bulan ke depan, Indonesia akan bertemu dengan masa libur Lebaran yang selalu ditandai dengan tradisi mudik.
Jika pemerintah tidak tegas mengkarantina DKI Jakarta (sebagai episenter Covid-19 saat ini) dan melarang para warganya untuk mudik, bisa dibayangkan virus ini akan menemukan momentumnya untuk meledak dan menyebar ke berbagai daerah tujuan pemudik seperti yang terjadi di China saat Imlek. Dengan rata-rata total jumlah pemudik pada angka 7 sampai 8 juta orang setiap tahunnya, membayangkan ancaman ledakan kasus baru Covid-19 di Indonesia menjadi sangat mengerikan.
*penulis adalah jurnalis Republika.