REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Siwi Tri Puji B, Wartawan Senior Republika
Wabah Covid-19 yang menyebar ke seluruh penjuru dunia mengubah persepsi baru di dunia Barat tentang pentingnya membersihkan bagian badan dengan air, bukan tisu, setelah berhajat.
Dulu jadi bulan-bulanan, kini jadi rujukan. Inilah yang di alami kolumnis masalah ke sehatan Kanada, Indi Samara jiva. Juli tahun lalu, ia menulis artikel di Medium tentang pen tingnya mentradisikan membasuh air setelah buang air besar dan kecil, alih-alih menggunakan tisu.
Dalam artikel berjudul White People, You Need To Wash Your Butts, Samarajiva menyebut selain merupakan cara tak bersih, penggunaan kertas toilet benar-benar membuang-buang uang dan tindakan tak ramah lingkungan. Rata-rata orang Amerika menggunakan sekitar 141 gulung tisu per tahun, atau 40 dolar AS per tahun per orang. Secara keseluruhan, permintaan tisu dunia yang terus meningkat berkontribusi terhadap deforestasi dalam jumlah besar.
Saat itu, ia panen cemooh. Sarannya dianggap sangat "tidak Amerika". Bidet, benda serupa kloset duduk dengan keran air untuk bercebok, dikenalkan di benua Amerika pada 1800-an, tapi tak pernah populer sampai saat ini. Alih-alih diadopsi, bidet dikonotasikan dengan hal-hal negatif bahkan amoral.
Kini setelah pandemi Covid-19 melanda hampir semua negara di dunia, kloset "basah" menjadi populer di negara-negara yang sebelumnya menganut prinsip toilet "kering", alias berbilas dengan tisu setelah membuang hajat.
Selama wabah, permintaan tisu melonjak. Rakrak tisu kosong di banyak supermarket di banyak negara Eropa, Amerika, dan Australia. Menjadi langka karena, sebagian besar tisu merupakan produk impor, dan umumnya dari Cina, negara yang terdampak virus corona pertama kali. Wabah ini telah mengganggu produksi di Cina, yang merupakan salah satu pemasok utama kertas toilet dunia.
Australia, misalnya, yang kini menjadi negara dengan kekurangan tisu toilet tertinggi, selain AS dan Inggris. Menurut Tim Woods, direktur pelaksana analis pasar Industry Edge, bahkan tanpa wabah sekalipun, pasokan tisu toilet di negara itu tak mencukupi. "Australia mengimpor 40 persen kebutuhan kertas toiletnya dari Cina dan sisanya diproduksi secara lokal," ujarnya pada Perth Now.
Kini, iklan toilet dengan cebokan air berseliweran di media Australia. Hampir semua plat form pasar maya di negara itu juga menyediakannya. "Mungkin dulu mereka aneh saat melihat orang-orang Asia dan negara-negara mayoritas Muslim menggunakan air saat ke toilet. Tapi setelah kelangkaan tisu toilet akibat panic buying, membasuh dengan air kini menjadi pilihan mereka," kata Ara Ma linda, warga negara Indonesia yang sudah lima tahun bermukim di Adelaide.