Jumat 17 Apr 2020 09:51 WIB

Pandemi Covid-19, Apa yang Perlu Diketahui Ibu Hamil?

Ibu hamil mempunyai kerentanan yang lebih tinggi terhadap infeksi saluran napas.

dr Prita Kusumaningsi Sp OG
Foto: Dokrep
dr Prita Kusumaningsi Sp OG

Oleh dr Prita Kusumaningsih Sp OG

Relawan Bulan Sabit Merah Indonesia, Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan

REPUBLIKA.CO.ID, Baru-baru ini kita dikejutkan dengan berita adanya bayi berusia 6 minggu yang meninggal dikarenakan radang paru dan dicurigai Covid-19.  Dunia terhenyak. Berbagai pertanyaan berseliweran.  Apakah Covid-19 ditularkan dari ibu yang positif kepada janin dalam kandungan? Atau bayi tertular selama proses persalinan? Atau dari ASI? Atau bayi tertular setelah hidup beberapa lama di dunia?

Selama ini perhatian tertuju pada pasien berusia lanjut dan/atau menyandang komorbid (penyakit penyerta).  Kurang disadari bahwa selain penderita diabetes, hipertensi, asma , dan penyakit lainnya,  ternyata ibu hamil juga merupakan kelompok rentan, berapa pun usia kehamilannya.  Sehingga sudah saatnya dilakukan peningkatan kewaspadaan di antara para dokter dan bidan yang melakukan pemeriksaan kehamilan sampai dengan menolong persalinan.  Selain itu kewasapadaan juga harus dilaksanakan oleh ibu hamil itu sendiri.

Telah diketahui bahwa ibu hamil mempunyai kerentanan yang lebih tinggi terhadap infeksi saluran napas.  Hal ini telah terbukti pada sejarah epidemi H1N1 (Flu Burung - 2009) dan SARS (2003)  yang juga disebabkan oleh virus corona, dimana angka penggunaan ventilator dan angka kematian pada ibu hamil lebih tinggi dibandingkan dengan wanita tidak hamil (Akbar, 2020). 

Untuk kasus Covid-19, dilaporkan tentang 9 ibu hamil yang dirawat di RS Zhongnan di Wuhan sebagai berikut : semua pasien tersebut melahirkan secara operasi sesar dengan semua bayi dalam kondisi baik.  Para ibu tersebut semuanya tidak ada yang menunjukkan gejala pneumonia berat COVID19 dan tidak ada yang sampai meninggal dunia.  Yang menarik, tidak didapatkan virus pada cairan ketuban, darah tali pusat, swab tenggorokan bayi, maupun Air Susu Ibu (ASI).  Ini menunjukkan bahwa belum ada bukti bahwa COVID19 dapat ditularkan dari ibu ke janin secara transmisi intra uterin. Namun demikian tak selayaknya kita gembira dulu karena sampel yang diteliti masih sangat sedikit.

Apa yang Harus Diperhatikan oleh Ibu Hamil dan Ibu Nifas?

Ibu hamil dan ibu nifas tetap harus melaksanakan trias pencegahan penularan COVID19 yaitu memakai masker, cuci tangan dengan sabun dan air mengalir, hindari menyentuh wajah (mata, hidung, mulut) dengan tangan yang belum dicuci, serta menerapkan physical distancing (menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain)

Ibu hamil tetap dianjurkan kontrol kehamilan ke fasilitas kesehatan. Disarankan membuat janji terlebih dahulu agar tidak terjadi antrian yang lama atau bertemu dengan banyak orang.  Saat ini di fasilitas kesehatan juga sudah diberlakukan physical distancing, misalnya memberi jarak pada kursi tunggu, memberi sekat antara pasien dan petugas pendaftaran/kasir, bahkan menjauhkan jarak antara kursi pasien dan kursi dokter.  Pasien sdiharapkan tidak tersinggung apabila menemui dokter langganan yang selama ini murah senyum dan banyak mengobrol menjadi serupa astronot dan bicara seperlunya. 

Jadwal kontrol yang selama ini dikerjakan bisa saja mengalami penyesuaian.  Demi melindungi ibu hamil agar tetap bisa #dirumahsaja , maka pada usia-usia “aman” tidak perlu kontrol hamil.  Usia aman tersebut pada akhir trimester 1 sampai dengan pertengahan trimester 3, atau usia kehamilan 12 – 32 pekan.  Pada usia tersebut bisa saja jarak kontrol 1-2 bulan.   Bisa juga menyesuaikan dengan standar Kemenkes (Permenkes 97/2014)  yakni minimal 4x kontrol selama kehamilan yaitu 1x di trimester satu, 1x di trimester dua, dan 2 x di trimester tiga.    

Sebaliknya, ibu hamil dan nifas tetap harus bisa mengenali tanda-tanda bahaya yang mungkin saja dia alami.  Tanda-tanda bahaya tersebut bisa dibaca di buku KIA (buku pink) yang sudah dimiliki oleh setiap ibu hamil/nifas.  POGI (Persatuan Obstetri Ginekologi Indonesia) juga sudah mengeluarkan panduan tanda bahaya di masa wabah ini, yaitu  mual/muntah yang berlebihan, perdarahan, nyeri perut/kontraksi hebat, pecah ketuban, tekanan darah tinggi, tidak merasakan gerakan janin, dan kejang. 

photo
Ibu Hamil dan menyusui jaga dari dari Covid-19 - (Republika)

Tak dapat dipungkiri bahwa masa-masa #dirumahsaja memaksa kita untuk akrab dengan teknologi.  Begitu pun dengan layanan kesehatan ibu hamil/nifas.  Beberapa rumah sakit/klinik bersalin menyediakan sarana untuk berkonsultasi secara daring atau bahkan bisa bertatap muka dengan dokter sembari tetap di rumah.  Silakan layanan ini dimanfaatkan bila terjadi keluhan ringan atau ada hal-hal yang ingin ditanyakan.  Tersedia pula beberapa aplikasi “Tanya Dokter” yang terpercaya.  

Apakah Boleh Bersalin di Masa Pandemi?

Jangan tertawa dulu. Pertanyaan tersebut nyata-nyata ditanyakan oleh seorang suami pasien.  Persalinan adalah salah satu peristiwa yang tidak bisa ditunda.  Bila masa itu datang, maka ibu hamil  tetap harus datang ke rumah sakit atau klinik bersalin sesuai dengan petunjuk keamanan. 

 

Dalam masa pandemi, sama sekali tidak dapat dibenarkan apabila serombongan keluarga turut mengiringi sang ibu.  Cukup satu dua orang pendamping menuju rumah sakit, dan hanya satu orang pendamping di dalam kamar bersalin. 

Saat ibu selesai bersalin , tidak dapat dibenarkan juga apabila keluarga atau teman sekantor baramai-ramai menengok sambil bawa kado! Bahkan seluruh rumah sakit saat ini sudah meniadakan jam kunjung pasien. Namun, ibu tetap dapat rawat gabung dengan bayinya dan dianjurkan memberikan ASI Eksklusif

Bagaimana bila ibu yang bersalin tersebut merupakan seorang PDP atau bahkan sudah terkonfirmasi positif COVID19? Ada beberapa perbedaan, namun bukan dalam cara persalinan.  Misalnya, pemberian pembatas antara ibu dan penolong. 

Bayi yang lahir dari ibu positif COVID19 tetap bisa mendapatkan ASI, namun ada referensi yang menganjurkan pengurangan kontak erat.  Ini untuk meminimalkan penularan ke bayi seperti pada kasus yang disebutkan di awal tulisan.  Demikian juga bayi yang baru lahir tersebut harus menjalani pemeriksaan swab tenggorok.  Dokter dan bidan penolong persalinan diwajibkan menerapkan penggunaan APD level 3 karena jarak yang dekat dengan ibu, dan potensi droplet dari ibu pada saat mengejan. 

Proses persalinan hendaknya tidak berlangsung terlalu lama, sehingga dipertimbangkan untuk segera mengakhiri baik dengan bantuan alat maupun dengan operasi sesar. 

Di atas semua itu, ibu hamil, suami, keluarga terdekat sebagai manusia biasa seyogyanya memanfaatkan waktu #dirumahsaja dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah. 

Demikian halnya dengan dokter, bidan, dan para tenaga kesehatan pendukung, selain menerapkan prinsip penggunaan dan pelepasan APD dengan baik dan benar juga tetap menjaga keikhlasan dan tawakkal kepada Allah selama bertugas. 

Jadi, sudah jelas kiranya jawaban apa yang harus disampaikan apabila ada pertanyaan dari suami pasien, “Dokter, apakah istri saya bisa melahirkan di masa wabah corona ini?” 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement