REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Haedar Nashir
Siapa masih merasa paling digdaya? Apakah ada saat ini yang tetap angkuh kuasa sebagai sosok-sosok perkasa? Egois hanya memikirkan ekonomi dan investasi. Berselancar kegaduhan di ruang publik. Padahal, seluruh dunia terkunci mati oleh korona yang menjelma jadi pandemi.
Dunia tidak menyangka pandemi ini meruntuhkan segala kemapanan di jagat raya. Negeri sebesar Tiongkok, Amerika Serikat, Italia, Jerman, Prancis, Spanyol, dan negara-negara maju yang memiliki segalanya tiba-tiba jatuh diri. Mereka dilucuti kedaulatannya hingga harus memutar otak menghadapi makhluk Tuhan yang sangat kecil dan mematikan itu.
Segala sangkar besi hegemoni runtuh. Semua terjadi di luar jangkauan nalar verbal dan instrumental. Globalisasi terkunci sendiri. Ilmu pengetahuan mutakhir, yang tengah bangga dengan keagungan artificial intelligence tergopoh-gopoh menghadapi virus ini.
Teori-teori posmo, termasuk di dunia akademik keislaman yang kadang congkak dengan kredo liberalisasi, seolah hilang kesaktian dan harus mendekonstruksi diri. Para kepala negara dan pemerintahan kehilangan taji kepemimpinannya. Para taipan bisnis dan ekonom lunglai dan seolah hilang harapan dengan nasib perekonomian dunia.
Bila masih ada para pejabat negara dan politisi di negeri manapun masih juga congkak dan buta tuli terhadap suara kebenaran, tidak tahu harus berkata apa tentang mereka. Radar ruhani dan akal jernihnya mungkin mati rasa.
Umat beragama pun diuji kualitas keberagamaannya. Bagaimana maqashidus syariah tentang menjaga agama (hifdz al-din), akal (hifdz al-‘aql), harta (hifdz al-mal), keturunan (hifdz al-nasl), dan jiwa atau diri (hifdz al-nafs) dihadirkan secara nyata menghadapi keadaan darurat.
Apakah masih ada keangkuhan beragama dengan merasa diri paling beriman dan bertauhid sambil berfatwa yang mengabaikan situasi dan berpotensi menambah radius penularan wabah yang mengancam kehidupan bersama dan mengawetkan kedaruratan. Wallahu a'lam!
Disorientasi Kosmologis
Dalam kuasa Allah, tidak ada satu kejadian di alam semesta yang lepas dari qodrat-iradat-Nya. Semua berada dalam garis sunatullah yang diciptakan-Nya. Allah berfirman, yang artinya: “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS At-Taghabun: 11).
Nabi Muhammad SAW mengingatkan musibah wabah (al-tha’un) sebagai peringatan penting bagi manusia sekaligus perlu karantina diri dan sosial [HR al-Bukhārī].
Boleh jadi dalam sistem kehidupan saat ini, di negeri tercinta dan ranah dunia, manusia sudah lama terasing dan kerdil diri. Orang sekuler terlalu percaya diri pada rasio, iptek, dan sistem yang mereka bangun atas dasar humanisme belaka. Mereka melupakan Tuhan dengan segala kemahakuasaan-Nya dan anugerah seluruh ciptaan-Nya. Sunatullah hanya dipahami sebatas hukum alam.
Agama dianggap sumber ketertinggalan dan masalah sehingga menjadi agnotik. Sebagian bahkan bangga menjadi anti-Tuhan atau ateis karena merasa diri otonom dengan otak dan ilmunya tanpa perlu Tuhan dan agama.
Para penguasa dunia merasa digdaya dengan sistem politik, ekonomi, budaya, dan sistem kehidupan lainnya yang menjadi acuan. Baik yang berpangkal pada sosialisme maupun kapitalisme yang rakus dan arogan. Semua hal dikendalikan sepenuhnya dengan hitung-hitungan indrawi dan duniawi belaka.
Mengeksploitasi sesama manusia, hewan, tumbuhan, dan alam menjadi tabiatnya tanpa rasa cukup dan memperhatikan kepentingan yang luhur.
Jutaan manusia termiskinkan dan alam pun dieksploitasi tanpa batas sehingga terjadi kebakaran hutan, banjir, dan kerusakan ekosistem yang masif.
Kemajuan iptek dan infrastruktur menjadi keangkuhan baru. Lebih-lebih dengan kehadiran teknologi informasi dan revolusi 4.0 yang sarat ketakjuban dan membuat banyak manusia menjadi budaknya. Manusia dihargai hanya dari ukuran benda dan teknologi yang instrumental itu.
Ekonomi dan legasi fisik didewakan. Pendidikan, kebudayaan, spiritual, bahkan pemerintahan dan keagamaan disubordinasikan oleh hegemoni dunia teknologis yang robotik itu. Ibarat bangunan struktur dunia tampak kokoh dan megah, tapi ringkih dan rapuh fondasinya.
Akibatnya manusia modern mengalami kesenjangan kebudayaan atau cultural-lag (istilah William Ogburn), disorientasi, dan kejutan kebudayaan atau cultural shock (istilah Alvin Toffler), dan anomie atau anomali dalam referensi para sosiolog.
Uang, teknologi, infrastruktur, investasi, materi, keuntungan, kedudukan, kesenangan indrawi, serta segala hal yang bersifat materi dan fisik menjadi serbadidewakan dalam nalar pragmatis dan isntrumentalis.
Dunia dipandang sebatas telunjuk dan mata kuda sehingga hilang kesadaran kosmologisnya yang melintas batas semesta. Negara dan rakyat pun diurus dalam alfabet pola pikir pragmatis dan instrumentalis itu minus visi kenegarawanan yang mencukupi, apalagi visi kosmologis yang melintasi!
Di tengah gelombang krisis, sering sebagian manusia masih tetap dungu dan angkuh diri. Hatta mereka yang mengaku beriman, berakal pikiran, dan berilmu. Lebih-lebih mereka yang merasa berkuasa. Mereka seolah mati kesadarannya sebagaimana firman Allah yang artinya: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS al-‘Araf: 179).
Orientasi Baru
Dari sudut akal sehat dan ilmu pengetahuan sebab dan bahaya Covid-19 itu faktual dan objektif, bukan ilusi dan konspirasi. Menyikapinya dengan ikhtiar merupakan jalan satu-satunya yang dibenarkan agama dan iptek serta bukan sikap paranoid.
Sebagai orang beriman dan berparadadigma Iqra, umat Islam harus mau menerima kenyataan tentang wabah dan musibah duniawi pada penjelasan keilmuan oleh ahlinya. Iman harus diletakkan sebagai fondasi yang kokoh dengan membuka diri pada khazanah ilmu. Seraya berusaha mencegah dan melakukan tindakan agar wabah makin terputus mata rantai penyebarannya dan akhirnya berhenti.
Hegemoni pandangan keagamaan yang literal-tekstual dan sikap konservatif mesti terkoreksi dengan pandemi ini. Dalil Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW serta khazanah keilmuan Islam sangat kaya memberi jalan solusi menghadapi darurat global ini.
Pandangan tentang iman, tauhid, kematian, dan musibah yang sempit dan kaku tidak cukup memadai dalam situasi wabah yang mematikan ini. Paham puritan jangan membawa pada sikap diri paling bersih, semuci, dan egois dalam beragama. Bukankah Islam melarang ghuluw (ekstrem) dan tazakku (merasa paling suci) dalam beragama?
Orang Islam niscaya menggunakan akal pikiran dan ilmu pengetahuan. Selain iman dan tauhid yang substantif dan melintasi, umat dilarang sembarangan berpendapat dan bertindak tanpa ilmu. Siapa pun tidak perlu memaksakan diri seolah tahu segalanya bila memang tidak mengetahui sesuatu yang bukan keahliannya. Allah mengingatkan: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS al-Isra’: 36).
Umat beriman penting rendah hati dan membangun kesadaran teologis yang melintasi. Kembangkan paham keagamaan yang berwawasan dakwah dan tajdid yang humanistik-profetik serta berwawasan kosmologis yang luas. Kedepankan keagamaan yang menyeluruh dalam nalar interkoneksi bayani, burhani, dan irfani yang mencerahkan. Amar makruf dan nahi mungkar penting dibingkai dalam trilogi pendekatan Islam itu agar tidak hitam-putih, garang, dan jadi alat menghakimi orang lain sebagai lemah, zalim, dan tidak Islami. Nabi Musa yang tegas dan keras sekalipun diajari Tuhan tentang hikmah dan metode lemah lembut dalam menghadapi arogansi Fir’aun, Qarun, dan Hamam (QS Thaha: 43-44).
Pemikiran dan sikap keagamaan niscaya memerlukan epistemologi dan orientasi kosmologis baru yang melintasi agar dapat memberi solusi alternatif yang kokoh sekaligus berkemajuan. Keberagamaan tidak digiring ke era abad tengah yang serbadogmatis sebagaimana terjadi di Eropa pra-abad pencerahan.
Umat tidak hidup dalam sangkar besi ortodoksi yang menurut Abduh Mahjubun atau menutupi sinar terang Islam sebagai agama pencerahan. Pandemi mestinya menumbuhkan sikap keagamaan profetik cinta Tuhan yang berbanding lurus dengan cinta sesama, cinta alam, dan cinta kehidupan dalam risalah rahmatan lil’ alamin yang autentik dan melintas batas!