REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 menimbulkan ketakutan, yang bisa berujung pada stres. Untuk mengatasinya, psikiater Lahargo Kembaren dari RS Marzoeki Mahdi Bogor menyarankan agar masyarakat menularkan rasa empati dan kebaikan kepada sesama.
Dia menjelaskan lebih lanjut mengenai empati, yakni kemampuan untuk menempatkan diri sendiri pada posisi orang lain, sehingga dapat merasakan, melihat, dan memikirkan hal serupa dengan orang itu. Empati lahir dari lubuk hati terdalam, melebihi simpati.
"Empati adalah rasa tulus yang tidak dibuat-buat, fokus pada orang yang mengalami peristiwa tidak diharapkan. Empati adalah melihat dengan mata orang lain, mendengar dengan telinga orang lain, dan merasakan dengan hati orang lain," ujarnya.
Menurut Lahargo, tidak mudah memiliki rasa empati dan tidak semua orang punya keterampilan untuk menunjukkannya. Bahkan, seorang psikiater atau ahli jiwa pun digembleng untuk mengasah rasa empati pada setiap pasien yang ditangani.
Meski begitu, empati bukan teori psikologi semata. Saat menyaksikan, mendengar, dan mengalami suatu peristiwa, ada bagian otak bernama "Mirror Neuron" yang teraktivasi. Inilah proses di otak yang memunculkan rasa empati.
Empati tidak cukup diucapkan dan dituliskan, tapi dinyatakan dalam sebuah aksi kebaikan. Lahargo mengatakan, itu bisa terwujud dalam bentuk bantuan bagi tenaga medis, atau dukungan nutrisi bagi para sukarelawan serta frontliners.
Begitu pula saling memberikan kemudahan di tempat kerja, serta guru, murid, dan orang tua yang saling membantu dan menguatkan selama proses belajar dari rumah. Termasuk, keluarga yang selalu setia dan sabar menunggu kita pulang.
"Mari berempati pada mereka yang terinfeksi Covid-19, pada mereka yang kehilangan pekerjaan, yang kelaparan, yang melayani di rumah sakit, pada pemerintah yang sudah berupaya menghadirkan kebaikan, dan pada semua yang membutuhkan," kata Lahargo.