REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imran Hasibuan, Jurnalis Senior.
Halaman depan surat kabar De Expres, edisi 13 Juli 1913, menampilkan sebuah tulisan yang menggegerkan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Artikel, tepatnya pamflet, dalam bahasa Belanda itu berjudul Als Ik Eend Nederlander Was... (Andai Aku Seorang Belanda...), karya seorang penulis muda: Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Usianya saat itu masih 26 tahun.
Dalam pamflet bernada satire itu, Soewardi melontarkan kritik tajam kepada permintaan atau himbauan pemerintah kolonial supaya orang-orang Indonesia menyumbangkan uang untuk ikut membiayai perayaan peringatan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda, lepas dari penjajahan Perancis: "... Andai aku seorang Nedelander, tidaklah aku akan merajakan kemerdekaan bangsaku di negeri jang rakjatnja tidak kita beri kemerdekaan," tulis Soewardi
Soewardi melanjutkan:
- "... Kalau itu merupakan pernyataan kegembiraan nasional, maka sungguh bodohlah kita mengadakan perajaan kemerdekaan di negeri jang terdjadjah. Orang melukai perasaan rakjat disini. ..... Andai aku seorang Nedelander, pada saat ini djuga aku akan memprotes hadjat mengadakan peringatan itu. Aku akan menulis di surat kabar bahwa hadjat itu salah; ...aku akan menasehatkan sekalian orang Belanda supaja djanganlah menghina rakjat Hindia Belanda, jang kini mulai menunjukkan keberanian dan mungkin akan berani bertindak pula...Lebih dahulu berilah kemerdekaan kepada rakjat jang masih kita kuasai, barulah boleh orang memperingati kemerdekaannja sendiri".
******
Pamflet itu segera saja menggemparkan masyarakat dan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Tak lama kemudian, pamflet diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu (oleh Abdoel Moeis), lantas disebarkan ke kalangan pergerakan yang tidak bisa berbahasa Belanda.Inilah pertama kalinya sebuah tulisan cendekiawan pribumi yang bisa menjangkau kalangan yang lebih luas, dan berhasil mengerahkan dukungan masyarakat bagi pergerakan kebangsaan.
Dengan begitu, pamflet ini tidak hanya provokatif, tapi juga membuat gentar pemerintah kolonial. Rasa gentar itu tak hanya menjangkiti kepala pemerintah kolonial, tapi juga menjalar hingga ke dengkul dan sekujur persendiannya.
Pamflet itu bagaikan "kayu bakar" yang siap menggerakkan Komite Boemi Poetra, sebuah komite yang dibentuk Soewardi Soerjaningrat dan Tjipto Mangoenkoesoemo untuk menentang peringatan 100 Tahun Kemerdekaan Belanda serta rencana pembentukan Dewan Jajahan di parlemen Belanda.
Singkat cerita, pemerintah kolonial dengan cepat berupaya memadamkan potensi "kebakaran" yang lebih luas. Maka "tiga serangkai"-- Soewardi, Tjipto, dan E.F.E. Douwes Dekker-- dibuang ke negeri Belanda.
Tapi bukannya padam, pembuangan itu malah memantik kebakaran yang lebih hebat di rumah kolonial Belanda. Pola berpikir dan bergerak Soewardi dan kawan-kawan menjadi inspirasi generasi pergerakan kebangsaan berikutnya. Soekarno, Muhammad Hatta, Tan Malaka, Amir Sjarifuddin, Sutan Sjahrir, dan hampir semua tokoh pergerakan segenerasi adalah pemikir/penulis andal sekaligus penggerak/organisator piawai. Generasi emas inilah yang kemudian membawa Indonesia merdeka. Dan kemudian menjadi pemimpin negeri merdeka itu.
Cilakanya, Orde Baru memberangus mentalitas dan karakter generasi pemikir-penggerak tersebut. Yang muncul adalah generasi politisi yang pragmatis alias cari selamat. Masa reformasi juga lebih banyak melahirkan politisi banal yang hanya bersandar pada elektoralibitas-- yang sialnya lebih bersumber dari dana (money politics) dan popularitas. Politisi yang bergerak bukan dengan pikiran untuk mengabdi kepada rakyat, tapi demi sensasi dan "segudang nasi".
Dari politisi seperti kita tidak bisa berharap tercipta peristiwa atau momen politik yang pantas dicatat dalam lembaran sejarah bangsa. Yang terjadinya bukan peristiwa yang menggetarkan jiwa bangsa, tapi justru momen yang melukai hati nurani rakyat. Dan akibatnya, politik kita hari ini makin kehilangan integritas dan sensibilitas terhadap persoalan-persoalan publik.
Di tengah banalitas politik itu, kita merindukan sosok nan bersinar seperti para tokoh pergerakan kebangsaan, yang berpikir dan bergerak untuk kemaslahatan publik. Harapan masih ada, meski tinggal secercah...