REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Raden Ridwan Hasan Saputra, Presiden Direktur Klinik Pendidikan MIPA
Semboyan adalah frasa atau kalimat yang menggambarkan motivasi, tujuan, bahkan visi dan misi organisasi. Tahun 1945, para pejuang mengumandangkan semboyan "Merdeka atau Mati".
Semboyan tersebut membuat tentara dan rakyat tahu apa yang sedang diperjuangkan dan harus dilakukan. Semboyan "Merdeka atau Mati" membuat rakyat Indonesia rela mengorbankan harta, jiwa, dan raga sehingga kemerdekaan bisa diraih.
Karena itu, semboyan harus mudah dipahami dan diyakini hati. Semboyan akan membuat orang yang terlibat atau dilibatkan bersemangat dan rela mengorbankan apa saja untuk mencapai tujuan.
Demikian pula, dengan Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap 2 Mei, tanggal kelahiran tokoh pendidikan Indonesia dan pahlawan nasional Ki Hajar Dewantara atau Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Beliau lahir pada 2 Mei 1889.
Ki Hajar Dewantara mencetuskan semboyan "Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani". Maknanya kurang lebih, seorang guru di depan memberi teladan, di tengah membimbing (memotivasi, memberi semangat, menciptakan situasi kondusif), dan di belakang mendorong (dukungan moral). Sebelum membahas semboyan ini, mari kita renungkan kondisi pendidikan Indonesia saat ini.
Berdasarkan data terakhir Programme for International Student Assessment (PISA) pada 3 Desember 2019, skor membaca Indonesia ada di peringkat ke-72 dari 77 negara. Skor matematika ada di peringkat ke-72 dari 78 negara, dan skor sains peringkat ke-70 dari 78 negara.
Tentu, laporan tersebut sangat menyedihkan. Sedangkan fakta di lapangan, kerusakan moral di kalangan pelajar kian tak terkendali, kesejahteraan guru belum sesuai harapan, gedung sekolah rusak, dan masih banyak lagi masalah lainnya.
Mari kita kembali ke masalah semboyan. Jika ditanya soal Tut Wuri Handayani yang ada di logo Kemendikbud, murid Indonesia belum tentu tahu kalau itu semboyan pendidikan nasional, apalagi paham maknanya.
Jika kita memberi tahu, siswa merasa semboyan itu untuk guru, bukan untuk dirinya. Padahal, kita paham, pendidikan itu tidak hanya melibatkan guru, tetapi juga murid, orang tua murid, elemen masyarakat, dan pemerintah.
Seharusnya, semboyan bisa membuat murid, orang tua murid, serta elemen masyarakat termotivasi untuk berpartisipasi dan berkorban untuk mewujudkan pendidikan nasional. Maka itu, sebaiknya pakar di bidang pendidikan mengkaji kembali semboyan "Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani".
Sebenarnya, Indonesia tidak hanya mempunyai Ki Hajar Dewantara sebagai pahlawan nasional dalam bidang pendidikan, ada juga tokoh seperti KH Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah sebelum Indonesia merdeka.
Saat ini lembaga pendidikan Muhammadiyah terdiri atas TK, SD, SMP, SMA, pondok pesantren, dan perguruan tinggi yang jumlahnya lebih dari 10 ribu unit. Ada juga KH Hasyim As'ari yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
NU pun berdiri sebelum Indonesia merdeka. Pendidikan di NU berbasis pada pesantren. Saat ini lebih dari 28 ribu pesantren ada di Indonesia. Model pendidikan KH Ah mad Dah lan dan KH Hasyim As'ari semakin berkembang, baik dari kualitas maupun kuantitas.
Tentu, ada tokoh lain yang lembaga pendidikannya didirikan sebelum masa kemer dekaan dan sekarang terus berkembang, baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini bisa dilihat di Pondok Pesantren Gontor.
Atau di sekolah Katolik seperti dari Ordo Ursulin yang banyak sekolahnya berumur lebih dari 100 tahun. Kemampuan bertahan lama dan tetap menjaga kualitas sampai saat ini tentunya karena mempunyai semboyan yang dilandasi filosofi yang kuat.
Filosofi dan semboyan pendidikan nasional seharusnya jangan hanya dari pemikiran satu tokoh bangsa. Maka itu, pemerintah harus mulai mengakomodasi filosofi pendi dikan KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim As'ari, dan bapak bangsa lainnya dari berbagai kalangan untuk diramu dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara.
Gabungan pemikiran dari para bapak bangsa di bidang pendidikan ini akan meng hasilkan filosofi pendidikan nasional yang baru. Dan mungkin, semboyan baru yang membuat tujuan pendidikan nasional lebih mudah dicapai.
Bicara mengenai perubahan semboyan, menurut penulis, hal itu bukanlah hal tabu. Ada beberapa kementerian yang mengubah semboyannya. Bahkan, di Indonesia bukan hanya semboyan yang diubah, melainkan malah kementeriannya yang dibubarkan.
Seperti dibubarkannya Kementerian Pene rangan pada masa Presiden Abdurahman Wahid. Ide perubahan ini dilontarkan karena penulis yakin, perubahan semboyan suatu lembaga atau organisasi bisa mengubah kondisi lembaga atau organisasi itu.
Bisa jadi perubahan semboyan pendidik an nasional ini tak akan pernah terjadi karena sedikit orang yang memikirkannya dan pemangku kepentingan pun tidak berpikir ke arah sana, sedangkan penulis tak memiliki kewenangan mewujudkannya.
Karena itu, biarlah tulisan ini menjadi wacana saja. Harapan penulis, semoga ada pemangku kepentingan di bidang pendidikan yang bisa mengubah semboyan pendidikan sehingga orang Indonesia menjadi manusia beradab dan membangun peradaban.