Jumat 22 May 2020 10:46 WIB

Implementasi Merdeka Melalui Sekolah Penggerak

Pendidikan harus didasari dengan penguatan karakter, literasi dan numerasi.

Salah satu rapat Indonesia Bermutu (IB)  yang dipimpin Ketua Umum Dr Jaka Warsihna, dihadiri oleh Ketua Dewan Pembina Prof Burhanuddin Tola PhD dan beberapa pengurus lainnya.
Foto: Dok IB
Salah satu rapat Indonesia Bermutu (IB) yang dipimpin Ketua Umum Dr Jaka Warsihna, dihadiri oleh Ketua Dewan Pembina Prof Burhanuddin Tola PhD dan beberapa pengurus lainnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdidkbud), sejak dipimpin oleh Nadiem Makarim, telah mengeluarkan berbagai kebijakan perubahan arah pendidikan.  Salah satunya yaitu merdeka belajar. Dalam implementasinya, merdeka belajar ini bagi Pengawas, Kepala Sekolah, guru, siswa, dan orangtua masih menjadi wacana, bahkan kemungkinan bingung. Dalam rangka menyiapkan program tersebut, Kemdikbud melibatkan berbagai yayasan yang bergerak di bidang pendidikan. Salah satu yayasan yang mencoba berpartisipasi yaitu Yayasan Indonesia Bermutu (IB). 

Menurut Dr  Jaka Warsihna  Msi, sebagai ketua Umum IB, Yayasan Indonesia Bermutu (IB) sejak tahun 2015 sampai saat ini sebagai lembaga yang secara konsisten membangun pendidikan dengan prinsip bahwa semua sekolah harus bermutu, semua siswa harus sukses, dan semua anak cerdas serta istimewa, karena Allah SWT tidak mengenal produk gagal.

IB mencoba menawarkan prinsip merdeka belajar bahwa orangtua dan guru harus memposisikan sebagai pendamping anak-anak untuk mampu terus belajar (dalam artian yang sesungguhnya) dengan cara yang kondusif bagi masing-masing anak untuk menemukan titik-titik tak terhingga dan mungkin sama sekali tidak ada dalam bayangan kita saat ini". “Prinsip inilah yang IB tawarkan dalam program Organisasi Sekolah Penggerak,” kata Jaka Warsihna dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Kamis (21/5).   

Ia menjelaskan, prinisp tersebut dalam implementasinya bahwa pendidikan harus didasari dengan penguatan karakter, literasi dan numerasi yang diposisikan sebagai kemampuan dasar yang akan mengantarkan setiap individu memiliki kepribadian yang kuat. Dalam pengertian ini, literasi bukanlah sekedar kelancaran membaca teks verbal, melainkan tumbuhnya komitmen dan konsistensi antara pemahaman, pemaknaan, pemikiran (pola pikir), tindakan, hati nurani, dan kemampuan berkomunikasi dengan baik.

“Melalui kemampuan itu, para peserta didik mampu membaca, menemukan makna, memahami, dan menyelesaikan berbagai persoalan hidup yang mereka hadapi, baik saat ini maupun masa datang,” ujarnya.

Numerasi berkaitan dengan kemampuan dalam menata logika dan nalar agar mampu melakukan analisis, perhitungan, dan pemodelan yang tepat dan cermat dalam menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupan nyata. “Pendekatan pembelajaran ini sudah IB implementasikan dalam program kerja  sama dengan berbagai lembaga baik tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota, dan sekolah sejak  tahun 2015 sampai dengan 2020,” ungkapnya. 

Lebih lanjut, menurut Afrizal Sinaro sebagai sekretaris umum IB, melalui program tersebut, IB berupaya mengondisikan agar kepala sekolah dan guru meyakini dan menyadari, serta menerapkan secara konsisten perilaku berkarakter di manapun dan dalam kondisi apapun. 

Kemudian, menurut Zulfikri Anas (peneliti IB), hal ini sesuai dengan prinsip bahwa  anak sebagai produsen, pelaku aktif dalam pembelajaran. Sedangkan guru merupakan profesi yang independen dalam mendidik anak sesuai kondisi anak, konteks lokal dan variasinya tanpa bertentangan dengan prinsip yang tertuang dalam kebijakan dan aturan yang berlaku. Adapun sarana-prasarana fisik hanyalah pendukung proses pendidikan.

Melalui cara ini diharapkan kepala sekolah dan guru mampu mengondisikan pembelajaran yang bermakna dan menggugah kesadaran serta menguatkan keyakinan setiap peserta didik bahwa perilaku berkarakter (akhlak mulia) adalah perilaku yang baik dan bermanfaat bagi kebahagiaan dirinya, sahabat, keluarga dan lingkungannya, di manapun dan kapanpun. “Pembaharuan yang diterapkan dalam kegiatan ini adalah metode pahami, sadari/yakini, amalkan, dan deklarasikan (PSAD),” kata Zulfikri.

Menurut dia, keempat prinisip ini, dalam implementasinya pahami artinya menciptakan situasi atau mengkondisikan agar anak mengenal, mengetahui, mengerti, memaklumi, perlunya nilai karakter dalam menjalani kehidupan. “Sadari atau yakini artinya menciptakan situasi atau mengkondisikan agar anak meyakini, menginsyafi, dan menyadari bahwa nilai-nilai karakter itu telah ada dalam diri kita sebagai manusia dan membawa kebaikan bagi diri pribadi maupun orang lain dan lingkungan,” ujarnya.

Ia menambahkan, amalkan artinya menciptakan situasi atau mengkondisikan agar anak terbiasa menerapkan perilaku baik sesuai dengan nilai-nilai karakter secara konsisten di manapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun. 

Deklarasikan artinya, menciptakan situasi atau mengkondisikan agar anak berani menyatakan dirinya sebagai orang yang konsisten berperilaku baik sesuai nilai-nilai karakter dan menjadi teladan, serta aktif mengampanyekan pentingnya perilaku berkarakter bagi dirinya, keluarga, teman sejawat, masyarakat dan lingkungan. “Semua proses ini merupakan satu kesatuan dan bersifat kontinum,” papar Zulfikri Anas.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement