REPUBLIKA.CO.ID, Ibuku tanggal 21 April ulang tahun yang ke-90. Aku bersyukur bahwa ibu dikaruniai usia panjang. Tidak banyak orang bisa mencapai usia itu. Ibu masih sehat, pendengaran dan penglihatannya pun masih tajam.
Meski kini harus memakai kursi roda, ibu masih bisa mengikuti informasi melalui televisi dan radio, terutama pengajian. Kira-kira baru lima tahun terakhir ini ibu berhenti dari aktivitasnya dalam organisasi PKK dan majelis taklim di tingkat kelurahan.
Aku adalah anak sulung dari empat bersaudara. Semuanya perempuan. Kata orang, kami cantik-cantik, berkulit putih. Mungkin itu menurun dari ibu yang juga cantik dan putih. Kalau melihat foto ibu masa muda dulu, meskipun foto hitam putih, beliau memang cantik. Bagaikan bintang film.
Ayah meninggal ketika aku hampir merampungkan kuliahku di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang. Ketika itu ayah terkena serangan jantung ketika bermain tenis bersama teman sekantornya. Kematian yang mendadak. Sesungguhnya ibu, aku, apalagi adik-adikku, tidak siap ditinggal oleh ayah. Namun, Allah memiliki rencana lain. Takdir memang tidak bisa diingkari. Ia tak terelakkan.
Ya, siapa yang mengira, karena sebelumnya ayah tampak sehat-sehat saja. Ketika ia mengejar bola ke dekat bentangan jaring, ia tersungkur di lapangan tenis. Ia digotong teman-temannya, dimasukkan ke dalam mobil, dilarikan ke rumah sakit. Namun, di tengah perjalanan, sebelum masuk gerbang rumah sakit, ayah tak tertolong.
Kami sekeluarga tentu saja merasa sangat terpukul karena kepergian ayah. Duka mendalam menggelayut di hati kami, bahkan sampai berminggu-minggu.
Rasanya seperti tak percaya, tapi maut memang memisahkan kami dengan ayah. Kesedihan ditinggalkan ayah tercinta masih begitu lekat di hati kami. Sejak kepergian ayah, setiap malam ibu mengajak aku dan adik- adik untuk bersama-sama berdoa.
"Semoga ayahmu tidur damai di alam barzakh sampai hari kebangkitan tiba. Semoga ayah mendapat jalan lapang menuju surga. Amin," kata ibu dengan mata berkaca-kaca.
"Ayahmu sudah di alam lain. Kita tak bisa lagi menyentuhnya," ujar ibu lagi.
Ayah hanya seorang pegawai negeri. Meski terakhir ia menjabat kepala Bappeda tingkat kabupaten. Namun, kehidupan kami sederhana. Kami tidak memiliki barang-barang mewah.
Rumah yang kami tempati juga tidak mengesankan sebagai tempat tinggal keluarga pejabat. Memang ada sebuah mobil, tapi keluaran tahun lama. Mobil tua. Karena itu sepeninggal ayahku, hidup keluarga kami agak kesulitan dari segi ekonomi. Namun, ibu ternyata tegar menghadapi semua itu. Meskipun mobil tua satu-satunya harus terjual untuk biaya kuliah dan sekolah dan adik-adikku.