Kamis 18 Jun 2020 15:35 WIB

Mahasiswa UB Tuntut Penurunan UKT

Pimpinan UB dinilai tidak peka dan adil dalam menyikapi krisis yang dialami mahasiswa

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Esthi Maharani
Mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) melakukan demonstrasi di Halaman Gedung Rektorat UB, Kota Malang, Kamis (18/6)
Foto: Wilda Fizriyani / Republika
Mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) melakukan demonstrasi di Halaman Gedung Rektorat UB, Kota Malang, Kamis (18/6)

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Resah (Amarah) Brawijaya menuntut pimpinan kampus segera menurunkan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Pimpinan UB dinilai tidak peka dan adil dalam menyikapi krisis yang dialami para mahasiswanya di tengah pandemi Covid-19.

Juru Bicara Aksi Amarah, Ragil Ramadhan Adiguna mengatakan, kampus UB saat ini tak kunjung memberikan kebijakan pasti dalam menopang biaya perkuliahan mahasiswanya. Padahal kebijakan tersebut nantinya bisa mempermudah mahasiswa dalam melaksanakan kegiatan kuliah. Selain itu, juga dapat mengurangi beban orang tua para mahasiswa yang terdampak Covid-19.

"Kami sadari (kita) ini masih beban orang tua, makanya yang kami pikirkan itu orang tua bukan diri kami sendiri. Kami mengerti kondisi orang tua kami seperti apa," kata Ragil kepada wartawan di Halaman Gedung Rektorat UB, Kota Malang, Kamis (18/6).

Berdasarkan laporan yang diterima, banyak orang tua mahasiswa yang terdampak Covid-19. Beberapa gaji orang tua mahasiswa harus dikurangi 50 persen. Ada pula orang tua yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga berdampak pada pembayaran UKT nantinya.

Ragil tak menampik, kampus telah memiliki Peraturan Rektor (Pertor) Universitas Brawijaya Nomor 17 Tahun 2019 tentang Penundaan, Penurunan Kategori, Keringanan, dan Pembebasan UKT, Sumbangan Pembinaan Pendidikan, dan Sumbangan Pengembangan Fasilitas Pendidikan bagi Mahasiswa Program Pendidikan Vokasi serta Program Sarjana. Namun aturan tersebut dinilai belum mampu mengakomodasi keinginan mahasiswa. Apalagi kebijakan itu dibuat sebelum pandemi Covid-19 sehingga kurang relevan.

"Maka karena itu, mahasiswa mendesak agar UKT atau SPP dipotong 50 persen untuk semua mahasiswa tanpa harus mahasiswa mengajukan ke fakultas atau rektorat," jelas Ragil.

Pembebasan UKT juga diharapkan dapat diberikan kepada mahasiswa yang hanya mengambil tugas akhir. Dalam hal ini seperti tugas akhir vokasi, skripsi, tesis dan desertasi. Mahasiswa yang tidak sedang mengambil mata kuliah lain juga masuk di dalamnya.

"Kebijakannya kami berharap mulai semester depan (bisa) diterapkan karena prediksinya (pandemi Covid-19) akan selesai akhir tahun atau ada kebijakan lagi. Tapi untuk UKT kami berharap ada keringanan hati dari rektorat," ucap Ragil.

Wakil Rektor III UB, Abdul Hakim menegaskan, kampus sesungguhnya tidak pernah membiarkan mahasiswanya berhenti kuliah hanya karena masalah ekonomi. Sebelum pandemi Covid-19 terjadi, kampus selalu mengupayakan membantu masalah tersebut. Untuk itu, dia meminta, mahasiswa yang terdampak Covid-19 segera melaporkan masalahnya ke rektorat.

"Saya dan kami akan membayar lewat yayasan dan universitas, silakan bawa ke kami yang terdampak. Jangan sampai mahasiswa UB drop out gara-gara tidak bisa bayar UKT, mana orangnya silakan datang ke lantai enam (rektorat)," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement