Proses pergantian kekuasaan di keraton sekilas biasa saja. Akan tetapi ditengah suasana perubahan politik yang cepat pada tahun tahun tersebut, tentu dibutuhkan seorang calon pemimpin yang akan mewakili zamannya.
Sejak lama Keraton di Jawa, jikalau sang calon raja tidak mau mengikuti kemauan kaum penjajah (Belanda dan Inggris), maka dengan mudah mereka akan mencari sosok lain yang mau didikte untuk kepentingan kolonial. Hal yang sering dilakukan adalah membuat politik pecah belah diantara anggota keluarga keraton, dan ataupun dengan memanfaatkan kalangan pejabat keraton terutama patih.
Hal ini terjadi sejak Pakubowon II yang kemudian menyusul pembelahan Mataram menjadi tiga Keraton, Sultan HB II era Daendels dan Rafless hingga HB III dan HB IV. Saat itu Diponegoro sesungguhnya sebagai anak tertua HB III punya kesempatan menduduki tahta. Namun Diponegoro memilih tidak bisa berkompromi dengan lebih bersikap sikap anti penjajah dan mengobarkan perlawanan bersenjata untuk mengusir Belanda dari bumi Jawa.
Untuk hal inilah sebelum memulai perundingan dengan Dr Adam, langkah pertama yang dilakukan adalah mengumpulkan semua kerabatan keraton, terutama para putra HB VII dan HB VIII. Secara langsung Ia menanyakan kepada mereka, siapa di antara mereka yang mempunyai keinginan untuk menjadi Sultan HB IX? Dalam pertemuan itu secara spontan dan kompak ada kesepakatan dan penegasan bahwa diantara mereka tak ada yang ingin menjadi HB IX.
Hal itu dilakukan Dorodjatun sekalipun belum diangkat sebagai putra mahkota. Secara simbolik Ia menerima keris Kyai Jaka Piturun dari ayahnya di Hotel Des Indes. Beberapa hari kemudian HB VIII mangkat. Gubernur Dr Adam mengambil alih kekuasaan keraton Jogjakarta sambil menunggu diangkatnya sultan baru. Gubernur Jogjakarta ini mengangkat suatu kepanitiaan untuk mengurus pemerintahan keraton yang berjumlah lima orang, diketuai Doradjatun.
Gubernur Dr Adam mungkin salah mengira, “anak kuliahan” yang diangkat menjadi calon raja ini akan gampang ditundukan. Sebagaimana pengalaman terhadap berbagai suksesi keraton Jawa di masa lalu jika menghadapi kondisi tidak normal. Namun, Doradjatun yang sejak kecil sudah dititipkan pada keluarga Belanda dan kemudian bersekolah di negeri Belanda, betul-betul menguasai bahasa Belanda dalam perundingan dan juga mampu menyelami akal berfikir bangsa Belanda saat itu—Dr Adam..
Cara-cara pecah pelah sempat diupayakan Belanda untuk menggoyahkan pendirian Dorodjatun dalam perundingan. Pepatih Dalem KPAA Danurejo diminta Belanda untuk membujuk sang calon raja yang keras kepala ini. Pangeran yang sudah berumur ini mendesak Dorodjatun karena perundingan sudah terlalu lama. Untuk hal ini, ia menjawab, “Kalau Paman yang hendak menjadi Sultan, silakan.”.
Bisikan ghaib di sore hari itu, mengakhiri perdebatan maraton berbulan-bulan. Pertemuan berikutnya yang dijadwal dengan Dr Adam hanya berlangsung sepuluh menit. “Silakan Gubernur menyusun kontrak politik itu. Nanti saya tandatangani!”. Tidak ada diskusi, tidak lagi perdebatan. Betapa heran Gubernur Adam saat itu. mengapa calon raja ini tiba-tiba berubah?
Dalam pengakuan selanjutnya, Sultan HB IX bercerita, andaikata perundingan dengan Gubernur Yogyakarta tetap mengalami jalan buntu, biasanya Belanda akan bertindak “nakal”. Calon raja akan dicap sebagai pemberontak dan biasanya dibuang. Atau memperalat salah satu anggota keluarga keraton yang akan dijadikan sultan.
Wallahu ‘alam Bishawab
----------
Sumber: Buku Tahta Untuk Rakyat, Celah Celah Kehidupan Hamengkubowono IX, Atmakusumah (Penyunting), Kompas Gramedia, Jakarta, 2002..