REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*
Sebagai salah satu dari empat daerah di Sumatera Barat dengan status zona hijau Covid-19, Kota Pariaman telah membuka sekolah untuk pembelajaran tatap muka mulai dari kelas IV SD hingga SMA sejak 13 Juli 2020. Namun, tepat sepekan berjalan, Pemkot Pariaman kemudian kembali menutup semua sekolah pada 20 Juli setelah seorang guru dan operator sekolah diketahui positif Covid-19 seusai tes swab massal.
Kasus yang terjadi di Pariaman membuktikan bahwa, daerah dengan status zona hijau sekalipun ternyata tak aman dari ancaman virus corona. Namun, Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Doni Monardo, pada awal pekan ini, Senin (27/7), malah memberikan isyarat bahwa pemerintah akan memperlongar sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan membuka sekolah tidak hanya di zona hijau.
Rencana pelonggaran sistem PJJ tidak terlepas dari munculnya banyak kekacauan di berbagai daerah atas proses pembelajaran daring. Jangankan di daerah atau pelosok yang minim sarana penunjang PJJ seperti akses internet, pelajar di wilayah perkotaan pun banyak yang terkendala dengan sistem pembelajaran daring.
Segudang masalah sistem PJJ yang begitu kompleks membebani guru, murid, hingga orang tua murid lantaran pembelajarannya masih menggunakan kurikulum sekolah secara tatap muka. Sebagian guru masih gagap memberikan pelajaran secara daring berujung pada sebatas melulu memberikan banyak tugas yang sangat membebani murid. Orang tua yang putra-putrinya masih duduk di bangku sekolah dasar, juga kerepotan lantaran sebagian waktu mereka di rumah sekarang juga harus dialokasikan untuk ikut membimbing anak-anak mereka belajar dari rumah selain sibuk mengurus kegiatan rumah tangga lain.
Kondisi tiga-empat bulan terakhir PJJ yang tanpa perbaikan dari aspek sarana, prasarana PJJ hingga belum juga adanya kurikulum darurat membuat sebagian ‘berontak’. Hasil survei Cyrus Network baru-baru ini bisa menjadi refleksi pemberontakan itu. Sebanyak 80,2 persen responden Cyrus menginginkan sekolah mulai dari tingkatan TK, SD, SMP, SMA segera dibuka bertahap. Yang tidak setuju sekolah dibuka hanya 14,8 persen dari total 1.230 responden yang tersebar di 123 desa dan 34 provinsi.
Hasil survei Cyrus sangat bertolak belakang dengan survei yang digelar PGRI pada Mei, di mana saat itu, mayoritas (85,5 persen) orang tua murid masih khawatir jika sekolah dibuka kembali. Sebanyak 72,2 persen orang tua tetap ingin PJJ dipertahankan saat itu. Responden juga menyatakan, siswa mengikuti pembelajaran PJJ dengan baik sebanyak 68,5 persen.
Alih-alih memperbaiki sistem PJJ dan menghadirkan kurikulum pandemi, seperti desakan banyak kalangan mulai dari persatuan dan federasi guru, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan pengamat pendidikan, kebijakan yang akan diambil Kemendikbud yang dipimpin Menteri Nadiem Makarim sepertinya akan membuka sekolah tidak hanya di zona hijau seperti yang diisyaratkan Doni. Jika memang demikian, langkah ini, seperti kata KPAI, bisa dibilang nekat saat laju penularan Covid-19 di Indonesia masih tinggi.
Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 pada pekan ini merilis data, bahwa hanya ada 43 kabupaten/kota di Indonesia masih nol kasus Covid-19 atau sama sekali belum mencatatkan kasus akibat pandemi tersebut. Itu artinya, hanya 8,4 persen dari keseluruhan jumlah kabupaten/kota di Indonesia.
Per 27 Juli 2020, zona merah Covid-19 bertambah dari 35 wilayah menjadi 53 wilayah. Jumlah kabupaten/kota dengan zona oranye juga bertambah dari 169 menjadi 185.
Sebelumnya, jumlah zona merah di Indonesia sudah pernah mencapai 53 wilayah, tepatnya berdasarkan laporan 28 Juni 2020. Setelah sempat turun di angka 35 wilayah, kini kembali menyentuh angka yang sama. Dari total 53 zona merah itu, ada 14 kabupaten/kota yang masuk zona merah tanpa perubahan tiga pekan berturut-turut.
Atas argumentasi pemerintah sekolah di luar zona hijau (yang ternyata tetap tidak aman) akan bisa dibuka dengan syarat penerapan protokol ketat, KPAI punya jawaban. KPAI telah melakukan pengawasan langsung ke 15 sekolah di jenjang SD, SMP, SMA/SMK di Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang, Tangerang Selatan dan kota Bandung pada Juni 2020 yang lalu. Hasilnya, dari 15 sekolah hanya satu sekolah yang benar-benar siap secara infrastruktur kenormalan baru.
Ada lima sekolah yang mulai menyiapkan infrastruktur, itupun sebatas menyiapkan wastafel beberapa buah di tempat-tempat yang strategis di lingkungan sekolah. Kemudian sembilan sekolah lainnya belum menyiapkan apapun kecuali sabun cuci tangan di wastafel yang memang sudah dibangun jauh sebelum pandemi Covid-19. Jika sekolah di Jabodetabek saja infrastruktur penunjang pada era new normal-nya masih berantakan, bagaimana dengan daerah?
“Buat anak kok coba-coba.” Slogan salah satu produk minyak kesehatan itu menjadi pas ditujukan kepada pemerintah, khususnya Kemendikbud saat ini. Covid-19 adalah penyakit serius, di mana sekali kita terinfeksi, kita mungkin akan bisa sembuh tapi sudah pasti ada di antara organ tubuh kita yang akan rusak permanen seperti banyak kisah kasus yang kita baca di media. Jangan biarkan anak-anak generasi penerus bangsa menjadi korban kebijakan yang bersifat testing the water setelah Kota Pariaman memberikan contoh nyata, bahwa kita memang belum aman sampai vaksin ditemukan. Jadi jangan nekat.
*penulis adalah jurnalis Republika.