Rabu 12 Aug 2020 05:01 WIB

Pelajaran Besar dari Tunisia untuk Demokrasi

Penghambat pertumbuhan demokrasi ketika masyarakat terbelah karena warna ideologis.

Masjid Agung Kairouan tampak kosong untuk membendung penularan virus Covid-19, di Kairouan, Tunisia, 19 Mei 2020.
Foto: Anadolu/Yassine Gaidi
Masjid Agung Kairouan tampak kosong untuk membendung penularan virus Covid-19, di Kairouan, Tunisia, 19 Mei 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Lili Nur Aulia, Sekretaris Institut Indonesia

Panggung politik Tunisia seperti tak kunjung dingin. Keterlibatan secara politik Partai Haraka Ennahda yang menganut pemikiran Islam moderat di Tunisia sejak 2011, terus menerus mendapat gempuran dari kubu sekuler yang berdalih ingin “menyelamatkan” Tunis dari politik Islam.

Haraka Ennahda belum setahun menjalankan fungsi legislatifnya, setelah menang dengan suara 23 persen pada pemilu Tunisia 2019. Akan tetapi, kemenangan itu harus berhadapan dengan kekuatan politik sekuler yang sudah puluhan tahun bercokol di Tunisia.

Hari-hari ini, aksi politik anti Ennahda terus bergema. Kelompok politik sekuler melakukan tekanan terhadap partai gerakan Ennahda yang terbukti berpikiran Islam konservatif dan moderat. Salah satu anggota parlemen dari Fraksi Destourian Hur Party, Abeer Moussa, menuduh Ennahda mendukung terorisme. Bahkan, beberapa waktu lalu memprakarsai mosi menarik kepercayaan dari Ketua Parlemen asal Ennahda, Rashid Ghannouchi. Di antara isu yang diembuskan adalah hubungan Ennahda dengan ISIS dan gerakan Ikhwan. 

Pada 30 Juli lalu, sidang mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan Ghannouchi pun digelar. Hasilnya, kubu sekuler harus gigit jari karena tak berhasil memenuhi kuota minimal dukungan 109 suara dari total 217 suara. Mereka hanya berhasil mengumpulkan 97 suara. Sementara 18 suara tidak sah, dan yang mendukung Ghannouchi sebanyak 132 suara. Kubu pro Ennahda memang menang, tapi kubu sekuler menuduh angka suara yang dinyatakan tidak sah itu manipulasi. 

Upaya menyingkirkan Ghannouci dari pimpinan parlemen tidak berhenti. Di hari yang sama, setelah gagal mendongkel Ghannouchi dari jabatan ketua parlemen, kubu sekuler anti Ennahda membuat gerakan Front Progresif yang terdiri dari lintas partai, aktivis politik, serikat buruh, dan intelektual. Mereka menyatakan gerakan perlawanan terhadap Ennahda akan berlanjut dan tetap menyerukan pencopotan Rashid Ghannouchi dari pimpinan parlemen, bahkan hingga menyingkirkan peran Ennahda dari politik Tunisia. 

Mereka berdalih, upaya itu untuk mengakhiri fragmentasi kekuatan politik Islam dan menghentikan proyek negara agama yang dikendalikan oleh Gerakan Ennahda selama ini. Di antara partai yang menyerukan front ini adalah Tahya Tounes Party, Mashru Tounes Party, dan Destourian Hur Party. Mereka menjadikan modal 97 anggota parlemen yang menyatakan anti Ghannouchi untuk terus beraksi. Kelompok sekuler mengangkat isu krisis ekonomi, gonjang ganjing politik dalam negeri, serta kasus terorisme. Seluruhnya ada di atas pundak Ennahda.

Posisi politik Ennahda diperburuk dengan munculnya konflik terhadap perdana menteri yang didukungnya sendiri, Elyes Fakhfakh. Ennahda menganggap Fakhfakh memiliki conflict interest dalam jabatannya, dan mencabut dukungan terhadap Fakhfakh. Efeknya, bulan Juli lalu, Fakhfakh membalas tuduhan itu dengan mencopot enam kursi kementerian yang dijabat anggota Ennahda. Setelah itu, Fakhfakh mengajukan pengunduran diri dari jabatan PM kepada Presiden. 

Kini Presiden Tunisia telah memilih PM Hichem Mechichi pengganti Fakhfakh. Mechichi,  tokoh yang tidak terafiliasi secara politik pada partai tertentu, dan otomatis dituntut segera membentuk kabinet. Kali ini, aksi anti Ennahda kembali memberi tekanan agar Mechichi tidak melibatkan Ennahda dalam kabinet.

Ghannouchi merasa perlu berkomentar soal tekanan ini. Ia mengatakan, agar tidak terjadi sikap mengucilkan peran politik Ennahda yang memang menang dalam pemilu. Ennahda mengusulkan agar dibentuk kabinet kesatuan politik nasional, merujuk pada keseimbangan kursi di parlemen. 

PM Mechichi sadar ada dalam posisi dilematis. Dalam konferensi pers jelang pernyataan tentang kabinet baru yang akan dibentuknya, ia menyebutkan bahwa konflik politik yang terjadi memiliki akar pada konflik parlemen yang cukup dalam. Dan karenanya, ia menegaskan seluruh kabinet pemerintahan yang akan dibentuknya bersifat kompeten dan independen.

Sikap tegas, tapi mengundang risiko besar dengan menganulir semua peran partai politik yang seharusnya mutlak dalam sistem parlementer. Alih-alih memperkecil perseteruan politik, langkah Mechichi dianggap justru bisa memperluas jarak antara eksekutif dan legislatif. 

Bagaimana kelanjutan proposal Mechichi masih harus diuji dan memperoleh dukungan pada sidang pleno di parlemen. Jika langkah Mechichi mengalami dead lock, Presiden Tunisia Qais Saeed membuka peluang untuk membubarkan parlemen dengan melakukan pemilu legislatif kembali. Itu artinya di tengah krisis ekonomi yang melanda, Tunisia harus kembali mengocek dana besar untuk penyelenggaraan pemilu yang baru saja kurang lebih satu tahun lalu diselenggarakan.

Panggung politik Tunisia terus panas. Diakui atau tidak, konflik ideologis antara Islam dan sekuler, mendominasi perseteruan politik Tunisia. Dan ini menyebabkan transisi demokrasi di Tunisia sejak musim Arab Spring 2011 jadi begitu lambat.  

Mari kita renungkan, pelajaran besar dari karut marutnya politik demokrasi di Tunisia. Seperti disampaikan sendiri oleh Gannouchi dalam satu kesempatan, “Yang menghambat pertumbuhan demokrasi adalah ketika masyarakat terbelah karena warna ideologis; antara kelompok Islamis dan sekuler, antara pro revolusi dan anti revolusi.”

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement