Kamis 13 Aug 2020 05:11 WIB

Cerita dari Bekas Pabrik Pengolahan Kopi di Bandar Lampahan

Pabrib bekas pengolahan kopi di Bandar Lampahan punya cerita perkembangan kopi Gayo.

Munadi Ilyas Leube bersama istri di bekas pabrik pengolahan kopi di Bandar Lampahan, Bener Meriah, Aceh
Foto: Thoudy Badai
Munadi Ilyas Leube bersama istri di bekas pabrik pengolahan kopi di Bandar Lampahan, Bener Meriah, Aceh

REPUBLIKA.CO.ID, BENERMERIAH -- Ada sejarah panjang dibalik keharuman aroma dan nikmatnya kopi Gayo, hingga dikenal bukan cuma di Indonesia namun juga dunia. Salah satu peninggalan sejarah itu, bisa dilihat jika kita berkunjung ke Bandar Lampahan, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh.

Tidak sulit menemukan sisa pabrik pengolahan kopi di Bandar Lampahan. Jika anda melintas di Jalan Raya Bireun-Takengon, posisi bekas pabrik itu berada tidak jauh dari pintu masuk objek wisata Gunung Burni Telong, atau di depan objek pemandian air panas di Bandar Lampahan. Jangan membayangkan akan menemukan bangunan utuh pabrik di lokasi itu. 

Baca Juga

Yang tersisa dari pabrik pengolahan kopi di Bandar Lampahan adalah tiga bangunan besar terdiri dari bekas gudang penyimpanan, bangunan untuk mengolah ceri kopi dan satu bangunan untuk menjemur biji kopi. Bangunan paling menonjol dan mudah dilihat dari pinggir jalan adalah bekas gudang penyimpanan kopi. Dari luar, kondisi bangunan yang mayoritas terbuat dari kayu itu sudah lapuk dimakan jaman. Kini bangunan itu beralih fungsi hanya sebagai tempat untuk menyimpan hewan ternak, kayu-kayu di dalam bangunan dua lantai itu pun sudah banyak yang keropos dan ada sebagian yang hilang dicuri.

Sementara untuk bangunan tempat mengolah ceri kopi, meski tertutup debu tebal dan kotoran hewan ternak, masih bisa terlihat tempat-tempat pengolahan seperti bagaimana dulu ceri kopi dikupas (pulper), bak penampungan biji kopi hingga alat untuk mengupas kulit ari kopi. Sementara untuk tempat penjemuran, kondisinya nyaris hanya tersisa tembok luar saja, sebagian bagunan sudah roboh. Pada bagian belakang, masih bisa dijumpai sisa-sisa mesin-mesin besar untuk pengolahan kopi, serta sebuah kincir air yang dulunya digunakan sebagai sumber tenaga untuk menggerakan mesin-mesin pengolahan kopi.

photo
Sisa bangunan bekas pengolahan kopi di Bandar Lampahan, Bener Meriah, Aceh - (Thoudy Badai)

Tim ekspedisi Republikopi berkesempatan bertemu dengan Munadi, anak ketiga dari Almarhum Tengku Ilyas Leube, yang merupakan pewaris bekas pabrik pengolahan pabrik itu. Kepada tim ekspedisi Republikopi Adhi menceritakan, pabrik ini diberikan ke almarhum orang tuanya oleh pemerintah Indonesia setelah Indonesia merdeka. "Saya tidak ingat siapa yang pertama membangun pabrik ini, tapi yang saya tahu pabrik ini ada sejak jaman kolonial belanda, kemudian Jepang, dan diserahkan oleh pemerintah Indonesia, waktu itu penguasa perang ke almarhum (Tgk Ilyas Leube)," ujarnya.

Pria yang akrab disapa Adi itu melanjutkan, pascakemerdekaan, ayahnya yang mempunyai gelar Reje Linge XIX, tidak hanya mendapatkan pabrik dari pemerintah, namun juga lahan perkebunan kopi yang jumlahnya ratusan hektar. Ia mengatakan, namun lahan-lahan itu oleh almarhum ayahnya dibagikan ke warga-warga sekitar. "Jumlah pasti berapa luas lahan yang didapat tidak tahu saya, tapi lahan-lahan itu dibagi ke masyarakat disini. Almarhum tidak ingin memperkaya diri sendiri, tapi ingin masyarakat disini juga bisa makmur dan sejahtera. Beliau memang dikenal oleh masyarakat punya jiwa sosial yang tinggi," katanya.

Adi mengatakan, keluarganya sempat mengolah pabrik selama tidak lebih dari 10 tahun sebelum akhirnya berhenti beroperasi pada tahun 70an. Hal itu, lantaran gejolak politik yang memaksa ayahnya bertentangan dengan pemerintah. "Ya itulah, dulu almarhum berjuang membela kemerdekaan hingga ke wilayah Sumatera Utara, kemudian setelah merdeka ada gejolak politik, orang tua sudah tidak fokus lagi mengolah pabrik dan pergi ke hutan. Akhirnya pabrik berhenti beroperasi karena memang tidak ada yang bisa mengurus dan meneruskan," ceritanya.

Meski begitu, Adi masih sempat merasakan ketika pabrik masih berjalan dengan normal, tepatnya ketika dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar. Ia menceritakan, dulunya pabrik sempat beroperasi dengan mengandalkan tenaga uap. Namun, karena alat-alat tenaga uap rusak, pihak keluarga kemudian mengganti menjadi tenaga air melalui kincir besar yang sisanya masih bisa ditemukan di belakang pabrik. Sementara alat-alat untuk pengolahan kopi yang ada di pabrik ini, sudah terbilang canggih pada masanya. Di pabrik ini, sudah ada alat mulai dari pulper, huller, hingga alat sortir untuk memilih biji kopi berkualitas baik dan tidak.

"Dulu waktu masih beroperasi, setiap tiga bulan, pabrik ini bisa mengekspor sekitar 35 sampai 40 ton green bean kopi ke pasar Eropa. Mungkin dulu di jaman sebelum kemerdekaan ekspor kopi dari sini lebih besar lagi, tapi saya tidak tahu pasti besar jumlanya berapa" ucapnya.

"Pabrik ini mengadalkan tenaga air sebagai sumber tenaga, dan itu dibangun oleh keluarga sendiri. Sumber tenaga ini juga digunakan untuk penerangan permukiman warga disini, dulu perusahaan listrik negara kan belum masuk," katanya melanjutkan.

photo
Sisa mesin pengolahan kopi di Bandar Lampahan, Bener Meriah, Aceh, - (Thoudy Badai)

Adi melanjutkan, setelah tak beroperasi, perawatan pabrik menjadi terbengkalai. Ia mengatakan, ada beberapa mesin pengelolahan kopi yang hilang dicuri oleh orang. Padahal, menurutnya alat-alat itu punya sejarah tinggi bukan hanya untuk keluarga namun juga perkembangan kopi di Gayo, Aceh. "Kami tidak pernah menjual, berapapun harga yang orang mau bayar, siapapun yang mau membeli, kami tidak akan menjual. Karena itu ada nilai sejarahnya, tapi memang itu hilang dicuri orang," ujarnya.

Munadi melanjutkan, pihak keluarga sampai kapanpun juga tidak akan menjual pabrik dan lahan tempatnya berdiri. Ia hanya berharap ada pihak-pihak yang memberikan dukungan agar pabrik itu bisa dijadikan museum. Adi mengungkapkan, sempat ada tawaran dari orang asal Belanda untuk menyewa pabrik tersebut, namun ditolak oleh pihak keluarga.

"Kami berharap pemerintah juga memberikan perhatian untuk melestarikan keberadaan bekas pabrik ini. lestarikan lah bagunan ini, jangan sampai hilang. Kita memang punya cita-cita besar menjadikan museum, namun kan tetap butuh dukungan dari pihak lain. Sampai saat ini dari Pemda setempat saja tidak ada," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement