REPUBLIKA.CO.ID, oleh Asma Nadia
Seorang pengendara motor melewati rumah, berkeliling kompleks melihat kanan kiri, sesekali berteriak seolah menawarkan sesuatu namun tidak terlihat produk yang dijajakan, dan tidak terdengar jelas apa yang disuarakan.
Pedagang keliling lain mungkin akan membawa pengeras suara, memutar lagu khas, atau mengulang-ulang rekamanan suara meneriakkan produk yang dijual. Tidak sedikit yang memberi sentuhan khusus pada kendaraan agar mereka lebih menarik perhatian.
Akan tetapi motor yang baru saja melewati rumah, justru membuat saya bertanya tanya, sebenarnya apa yang mereka sedang jajakan? Setelah mengelilingi kompleks cukup lama kendaraan roda dua itu kembali melewati rumah kami, suami sampai sengaja keluar terdorong rasa penasaran. Ternyata bukan satu melainkan dua pengendara motor yang beriringan, meneriakkan, “Pizzaaa, pizza…”
Sampai di sini masih belum istimewa. Pikiran saya dan suami sama, mungkin mereka pekerja dari pengusaha warung pizza baru tidak jauh dari rumah. Mengingat sepanjang jalan menuju perumahan kami memang berderet cukup banyak warung jajanan yang disulap sedemikian agar nyaman menjadi tempat nongkrong.
Tetapi saya spontan berpandangan dengan suami, saat pengendara motor yang beriringan tersebut di antara teriakan, menyebutkan label pizza yang mereka jual, ternyata mereka berasal dari cabang pizza paling terkenal di tanah air yang tanpa saya sebutkan namanya, siapa pun bisa mengira.
Suami yang tampak terkesan, melambaikan tangan. Promo yang kemudian dijelaskan cukup menggoda. Empat Loyang pizza yang dulu sebelum pandemi dihargai lumayan, sekarang dijual dengan potongan lebih dari setengah harga. Empat loyang dengan pilihan rasa berbeda ditawarkan kepada kosumen hanya dengan harga 100 ribu rupiah. Sangat murah, dan setelah dicicipi, rasa dan kualitasnya tetap terjaga.
Sejujurnya ini bukan kali pertama kali saya mengamati dan takjub melihat bagaimana gerak perusahaan pizza tersebut, berjuang agar bertahan dan tidak tergilas di masa sulit. Ketika pandemi mulai merebak, dalam perjalanan usai menjenguk ibu, saya dan suami melihat salah satu outlet perusahaan ini membuka tenda kecil di depan restoran mewahnya, dan meneriakkan pizza murah. Pegawai yang biasa menawarkan pesanan dengan elegan, kini terpaksa berteriak tak ubahnya menjajakan produk obralan.
Sementara memasuki masa pelonggaran pandemi, saya kembali mengamati bagaimana mereka menawarkan makan pizza sepuasnya dengan harga menggoda. Seingat saya belum pernah ada paket pizza untuk dimakan sepuasnya yang ditawarkan dengan harga semurah itu. Sampai tulisan ini dibuat mereka masih terus berjuang dengan upaya menjemput bola, melibatkan pegawai berkeliling komplek perumahan untuk menawarkan produk unggulan mereka.
Bagi saya pribadi, apa yang dilakukan perusahaan pizza terkenal tersebut adalah bentuk kreativitas bertahan hidup yang patut dijadikan pelajaran. Tidak hanya agar perusahaan bertahan, namun juga ikhtiar agar begitu banyak karyawan di berbagai cabang mereka, semoga tak perlu kehilangan pemasukan.
Di saat banyak perusahaan memilih jalan lebih mudah dengan memotong hingga setengah gaji, menghentikan aktivitas, menutup sementara, sampai melakukan pemutusan hubungan kerja, terlihat perusahaaan ini tetap mencari berbagai cara untuk tetap bertahan dan bisnis berjalan.
Mereka menyadari kondisi saat ini bukan situasi biasa, karena itu berbagai ikhtiar yang tidak biasa harus dijalankan. Mereka mengabaikan gengsi. Pegawai yang sebelumnya dilatih untuk melayani tamu di restoran yang nyaman, kini berteriak di pinggir jalan sampai berkeliling menawarkan pizza dari rumah ke rumah.
Apakah dengan segenap upaya itu mereka menurunkan martabat? Tidak, saya justru salut dan angkat topi pada keberanian perusahaan ini menyesuaikan diri dengan keadaan. Tidak banyak restoran yang melakukan begitu banyak upaya berjuang.
Pada prinsipnya bisnis adalah untuk menghasilkan uang. Bagi mereka, dulu mungkin cara menghasilkan omzet dengan mempresentasikan dan mengemas restoran secara elegan. Namun di masa corona, di mana sebagian besar pelanggan memilih tidak makan di ruang publik, tentu presentasi produk harus dilakukan dengan cara berbeda.
Ya, bulan-bulan setelah pandemi ini banyak pembelajaran yang bisa diambil. Antara lain, pertama kita harus berpikir bagaimana agar bisnis bertahan. Kedua, kita pun harus kreatif melakukan peneysuaian usaha dengan keadaan. Menjual daring, mugkin salah satu pilihan tapi bukan satu-satunya. Restoran pizza di atas sudah punya divisi online, nomor telepon untuk pemesanan sejak lama ada, dan tidak berhenti di sana, restoran pizza tersebut pun terus berusaha melakukan inovasi, menemukan cara-cara lain. Ketiga, bagaimana sebisa mungkin meminimalisir pengeluaran yang tidak penting, terkait menyesuaikan diri dengan keadaan. Restoran pizza ini misalnya, menggunakan tenaga yang ada untuk melakukan tugas yang berbeda dari biasanya. Bukan memakai staf baru. Mereka membuang gengsi. Tidak ada tempat untuk itu sebab semua sedang kesulitan.
Ada banyak contoh lain di sekitar kita terkait upaya bertahan agar tetap memperoleh penghasilan sementara ruang gerak dan kemampuan menarik pasar terbatas. Tidak sedikit pengisi acara hiburan yang membanting stir, pegawai yang secara serabutan sekarang ikut berdagang apa saja, memenuhi laman media sosial mereka dengan berbagai promo. Sebagian teman yang bergerak di make up artis dan pernikahan, kini membangun label baru layanan hantar makanan. Teman lain yang biasa menangani dekorasi pernikahan dan berbagai acara, kini mencoba melakukan inovasi agar terbuka ruang lebih luas untuk tetap mendapatkan pemasukan agar bisa terus menggaji karyawan.
Semoga selain ikhtiar, tak ada yang lelah mengangkat tangan dan berdoa, khususnya bagi semua yang saat ini berjuang untuk bertahan hidup agar mampu terus menafkahi keluarga. Pembaca yang saat ini mungkin diberi kemudahan rizki, bisa membantu dengan menjadi konsumen. Insya allah setiap upaya yang dilakukan dengan niat baik akan bermuara kemudahan dari Allah.