Senin 17 Aug 2020 11:16 WIB

Merdeka dari Jerat Oligarki

Indonesia yang semakin pragmatis dalam politik yang dikuasi oligarki

Sejumlah pehobi sepeda gunung atau Mountain Biker (MTB) mengikuti upacara bendera memperingati Hari Kemerdekaan ke-75 RI di Bukit Cacing, Dusun Medas Bentaur, Desa Tamansari, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, NTB, Senin (17/8/2020). Upacara dengan mengibarkan bendera Merah Putih di atas bukit yang diikuti perwakilan komunitas sepeda MTB Lombok tersebut diselelenggarakan untuk memeriahkan HUT ke-75 kemerdekaan RI.
Foto: ANTARA/Ahmad Subaidi
Sejumlah pehobi sepeda gunung atau Mountain Biker (MTB) mengikuti upacara bendera memperingati Hari Kemerdekaan ke-75 RI di Bukit Cacing, Dusun Medas Bentaur, Desa Tamansari, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, NTB, Senin (17/8/2020). Upacara dengan mengibarkan bendera Merah Putih di atas bukit yang diikuti perwakilan komunitas sepeda MTB Lombok tersebut diselelenggarakan untuk memeriahkan HUT ke-75 kemerdekaan RI.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Verdy Firmantoro, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia dan Dosen Komunikasi Politik FISIP UHAMKA

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung pesan penting bahwa hakikat “kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Lebih lanjut, diuraikan bahwa “perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”.

Perlu dicatat, bahwa dalam preambule tersebut, rakyat Indonesia baru diantar sampai di depan pintu gerbang kemerdekaan. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar telah memasuki pintu gerbang kemerdekaan itu atau justru sebaliknya?

Tujuh puluh lima tahun kemerdekaan Indonesia menjadi kilas balik bahwa apakah hakikat kemerdekaan sudah dirasakan seluruh rakyat Indonesia atau masih berputar-putar di segelintir individu yang memegang sumber daya kekuasaan dan kekayaan. Sejumlah catatan menunjukkan lebih dari dua dasawarsa reformasi, kelompok minoritas dan rentan masih terabaikan (LBH Jakarta, 2019); adanya potensi pelemahan pemberantasan korupsi maupun kekerasan terhadap hak asasi manusia masih banyak terjadi (Imparsial, 2019); nasib guru honorer belum sejahtera (Forum Diskusi Lumajang, 2020); kemiskinan naik mencapai 26,42 juta orang (BPS, 2020); apalagi tingkat ketimpangan sosial masih sangat besar yakni satu persen orang kaya menguasai separuh aset nasional (TNP2K, 2019).

Mengacu fakta demikian, tidak dipungkiri bahwa agenda-agenda kemerdekaan masih belum sepenuhnya terpenuhi. Jeratan oligarki masih menjadi tantangan penguatan agenda reformasi di satu sisi dan menguji kualitas demokrasi di sisi lain.

Patologi Sosial, Pandemi dan Pragmatisme Politik

Belum tercapainya agenda-agenda reformasi pasca tumbangnya Orde Baru menjadi representasi kemerdekaan yang belum paripurna. Mengingat kemerdekaan tidak cukup dimaknai dengan keluarnya bangsa Indonesia dari jerat penjajahan, refleksi kehidupan yang sarat tuntutan-tuntutan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa hingga terpenuhinya keadilan sosial menjadi nilai dasar kemerdekaan yang masih perlu diperjuangkan.

Penyakit atau patologi di era pandemi seperti saat ini bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga kemiskinan dan yang lebih utama adalah soal keberpihakan. Vedi R. Hadiz (2011) dalam tulisannya Reorganizing Political Power in Indonesia: A Reconsideration of so-called ‘Democratic Transitions’, menempatkan bahwa tumbangnya rezim otoriter menciptakan harapan baru bagi masyarakat Indonesia sebagai sebuah ruang transisi demokrasi.

Namun, sayangnya seringkali alih-alih menuju demokrasi yang diharapkan, malah menunjukkan munculnya predator-predator kepentingan. Akibatnya, sistem politik yang demokratis tersandera oleh jebakan-jebakan politis yang oligarkis. 

Dinamika kekuasaan menjadi medan kontestasi tarik menarik kepentingan elite. Harapan kemerdekaan dengan bergeraknya masyarakat sipil melalui partisipasi yang demokratis, justru diwarnai dengan budaya politik pragmatis. Bacaan terhadap realitas menunjukkan bahwa tidak identik pergantian rezim akan memenuhi harapan-harapan keadilan sosial, namun justru sebaliknya fluktuasi tarik menarik kepentingan kian tajam dan semakin menggeser susbtansi keberpihakan.

Manajemen persepsi hanya sebagai dalih untuk mengurangi tingkat ketidakpastian sebagai pembenaran atas praktik-praktik pemberlakuan kebijakan yang seringkali masih bersifat ego sektoral.

Pragmatisme politik dan ketidakberesan sosial yang terjadi menjadi potret bahwa masih perlunya pembenahan-pembenahan yang bersifat sistemik. Ketidakpuasan politik tidak dapat disederhanakan sebagai sebuah faktor tunggal. Tulisan Political Disaffection in Contemporary Democracies: Social Capital, Institutions and Politics yang dieditori Mariano Torcal dan Jose Ramon Montero (2012) menggambarkan adanya keterhubungan berbagai faktor yang menyebabkan persoalan mengemuka. Antara elite dan masyarakat didorong untuk tidak saling memunggungi, melainkan mengayomi.

Dari Politik Dinasti ke Demokrasi Deliberatif

Bangsa ini surplus seremoni, namun defisit demokrasi. Pasalnya setiap perayaan hari kemerdekaan tidak pernah absen diperingati, namun di saat yang sama praktik-praktik demokrasi masih jauh dari substansi. Catatan terkait oligarki tidak bisa dipungkiri menyesaki ruang demokrasi kita hingga saat ini.

Salah satu studi dari SJ Arifin (2013) tentang Perkembangan Oligarki di Provinsi Banten (2001-2012) menunjukkan bahwa demokrasi elektoral pasca Orde Baru didominasi oleh oligark. Lebih lanjut, fenomena tersebut tentu tidak hanya terjadi di Banten, di berbagai daerah juga menunjukkan adanya sentralisasi kekuasaan yang melibatkan jaringan politik kekerabatan.

Telaah-telaah atas persoalan-persoalan tersebut menguatkan teori oligarki yang dipaparkan Jeffrey Winters. Bahkan jelang Pilkada serentak 2020 nanti, harapan-harapan publik akan terciptanya atmosfir demokrasi yang ideal, sepertinya masih terkendala dengan merebaknya praktik-praktik politik dinasti.

Politik dinasti tidak terhindari dengan derasnya mata rantai kepentingan elitis yang mengeliminasi sendi-sendi demokratis. Seolah secara prosedural tidak ada regulasi yang dilanggar, namun di sisi lain berpotensi menciderai upaya pembentukan meritokrasi yang sesungguhnya.

Ketidaksetaraan basis material dan kapital politik dalam kandidasi mendorong sistem demokrasi yang tidak sehat. Meminjam istilah Pippa Norris (2011), itulah yang disebut defisit demokrasi, alih-alih demokrasi mencapai ekspektasi justru menyimpang dari harapan publik. Hal itu semakin menguatkan tesis Winters (2011) bahwa hadirnya demokrasi tidak berarti menghilangkan praktik oligarki.

Kemerdekaan bangsa ini tidak akan pernah paripurna jika geliat oligark semakin kuat. Demokrasi yang masih terkontaminasi oleh sentrum-sentrum elite hanya akan melahirkan politik dinasti. Negara ini perlu berbenah. Konsep demokrasi didorong untuk tidak elitis, namun diarahkan pada arah demokrasi deliberatif.

Gagasan Jurgen Habermas tersebut menandai bahwa sentralisasi kekuasaan justru menjadi patologi demokrasi, sebaliknya demokrasi deliberatif menghendaki ruang publik untuk dibuka seluas-luasnya. Proses deliberasi memungkinkan politik mengatur kehendak bersama dengan adil, bukan ditentukan hanya oleh segelitir elite penguasa. Demokrasi deliberatif mengajak keterlibatan warga secara aktif.

Keputusan politik tidak bersifat parsial, tetapi lahir sebagai sebuah hasil dari proses dan mekanisme yang komunikatif. Puncak dari kemerdekaan politik adalah memacu publik tidak resisten dan apatis terhadap politik, namun justru turut berpartisipasi menyukseskan agenda-agenda reformasi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement