REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Subroto, Jurnalis Republika
Menembus sumber itu gampang-gampang susah. Ada narasumber yang sulit dihubungi. Ada juga yang justru mengejar-ngejar wartawan untuk diliput.
Aku pernah sering menulis tentang narkoba dan HIV/AIDS. Pengosumsi narkoba termasuk sulit diwawancarai. Apalagi pengidap HIV/AIDS lebih sulit lagi. Mereka kebanyakan tertutup, tak ingin identitasnya diketahui.
Tahun 2004 aku akan menulis feature pengguna narkoba yang mengidap HIV/AIDS. Beberapa kontak didapat, tapi ketika dihubungi yang bersangkutan tak mau diwawancarai dengan berbagai alasan. Padahal aku tak akan membuka identitasnya. Hanya ingin dapat ceritanya.
Melalui sebuah LSM peduli HIV/AIDS di Jakarta, narasumber yang diincar berhasil didapat. Janji bertemu di sebuah kontrakan di Pondok Cina, Depok, Jawa Barat.
Kos-kosan itu adalah sebuah rumah yang seperti tak terurus. Halamannya penuh dedaunan berguguran. Tak pernah disapu.
Rumah itu berdiri sendiri. Agak berjarak dengan rumah-rumah lainnya. Seorang pemuda, menyambut di pintu rumah. “Masnya sendiri?” tanyanya sambil celingukan. Curiga kalau-kalau aku membawa orang lain.
“Ya sendiri,” jawabku.
Dia mengajak masuk ke dalam rumah. Rumah itu terdiri dari beberapa kamar. Tapi, tidak ada-tanda-tanda penghuninya sama sekali.
Pemuda itu, sebut sajalah namanya Andi, masih kelihatan curiga. Aku pun jadi agak takut. Yang kuhadapi ini seorang pecandu narkoba yang masih aktif. Melalui narkoba dia tertular HIV/AIDS. Bagaimana jika dia tiba-tiba dia sakaw?
Dari ruang tengah aku diajak masuk ke dalam kamar. Begitu masuk kamar, dia langsung mengunci pintunya dari dalam. ”Kok ditutup?" protesku khawatir.
“Kalau polisi datang nanti bagaimana?” dia balik bertanya.
Kami memulai obrolan dengan kaku. Andi mengaku selalu khawatir akan ditangkap polisi karena mengonsumsi narkoba. Dia bilang kosnya berpindah-pindah, demi tak diciduk polisi.
Sepanjang wawancara, beberapa kali dia menghentikan pembicaraan. Mendekatkan daun telinganya ke pintu. Mendengar kalau-kalau ada langkah orang masuk ke rumah.
Aku tak khawatir polisi datang. Yang kukhawatirkan Andi tiba-tiba sakaw. Sakaw itu kondisi seorang pecandu kalau lagi “nagih” ingin mengonsumsi narkoba. Dampaknya bisa macam-macam jika tak berhasil mendapatkan narkoba. Bisa saja mengamuk, bisa juga menyerang.
Bagaimana jika dia menyerang? Satu-satunya kesempatan lolos hanya lewat pintu itu. Dan sekarang dikunci. Kunci dimasukkan ke dalam kantongnya.
Aku masih berusaha tenang. Walaupun tetap waspada. Kuperhatikan baik-baik perubahan mimik wajahnya. Jika dia mengamuk, aku akan merebut kunci di kantongnya, lalu kabur. Rencana kedua, melakukan perlawanan sebisanya sambil berteriak minta tolong.
Hampir satu jam ngobrol, Andi kelihatan lelah. Bulir-bulir keringat mengucur dari dahinya. Napasnya tersengal-sengal.
Sudah saatnya mengakhiri wawancara menegangkan ini. Semua informasi sudah kudapatkan.
Sebelum pulang, Andi menodong meminta uang. Alasannya untuk membayar kos. Aku tak percaya, mungkin untuk beli narkoba. Tapi mau berdebat, percuma, kelihatannya dia sudah tak sabar.
Terpaksa tiga lembar lima puluh ribuan keluar dari dompet. Dia meminta lebih. “Cuma itu,” jawabku sambil memperlihatkan dompet yang sudah kosong.
Aku meninggalkan rumah itu dengan hati plong. Selesai juga wawancara dengan narasumber yang unik. Untung tak terjadi apa-apa. Baru kali itu aku takut dengan narasumber.
Tips Melakukan Wawancara Langsung
1. Persiapan diri, materi dan narasumber yang diwawancarai
2. Buat daftar pertanyaan sebagai panduan
3. Siapkan alat perekam dan pencatat
4. Buat janji pertemuan
5. Jangan terlambat datang
6. Perkenalkan diri sebelum wawancara
7. Buat suasana rileks agar narasumber nyaman
8. Gunakan gaya berbeda untuk narasumber yang berbeda
9. Pertahankan alur wawancara sesuai rencana
10. Pastikan bagian mana yang boleh dikutip dan tidak.