REPUBLIKA.CO.ID, Pascapengesahan UU Cipta Kerja yang penuh kontroversi baik dari segi substansi maupun teknis, DPR RI begitu disorot. Media sosial seperti misalnya Twitter dipenuhi dengan ungkapan protes, hujatan, bahkan ejekan. Tidak hanya itu, banyak pengguna Twitter yang bercentang biru dan memiliki pengikut banyak juga turut dalam hiruk-pikuk ini, mereka tentu saja memiliki pengaruh besar untuk membuat arus protes semakin masif.
Tulisan ini tidak berupaya untuk mengambil posisi tertentu terhadap UU Cipta Kerja. Tulisan ini berupaya memaparkan sisi yang nampaknya sangat jarang sekali dibahas yakni soal stereotip terhadap DPR RI termasuk terkait konsekuensi sosialnya dan bagaimana kita sebaiknya bersikap.
Tidak bisa dipungkiri, DPR RI memang sedang memiliki cap negatif yang dalam kondisi sangat klimaks. “Dalam kondisi sangat klimaks” penulis sampaikan karena stereotipe ini memang sudah lama ada pada wajah DPR kita.
Dulu, misalnya, almarhum Gus Dur pernah melontarkan ejekan (atau mungkin Gus Dur menyebutnya sebagai “lelucon”) terhadap DPR RI sebagai taman kanak-kanak. Ujaran Gus Dur saat itu membuat heboh dan bahkan lelucon almarhum selalu diulang-ulang banyak orang sampai saat ini.
Lebih jauh lagi dalam sejarah, musisi senior Iwan Fals pada tahun 1987 merilis lagu populer yang berjudul Surat Buat Wakil Rakyat yang mana salah satu liriknya adalah, “Kami tak sudi memilih para juara. Juara diam, juara he-eh, juara hahaha.” Lagu itu terkenal dan juga selalu diulang-ulang sampai saat ini terutama bagi kalangan penggemar Iwan Fals yang sangat banyak. Kalau hari-hari ini, beberapa waktu lalu kata kunci “DPR Kon*ol” sempat menjadi trending topic di Twitter. Adapun saat tulisan ini ditulis (7 Oktober 2020 Pukul 16.51 WIB), salah satu tren yang muncul adalah hashtag #DPRPengkhianatRakyat”.
Berbicara soal stereotip ini, tentu saja tidak bisa dipisahkan dari pihak atau orang yang mana stereotipe tersebut melekat padanya. Stereotip DPR RI hari ini muncul sebagai akumulasi dari respon negatif terhadap sikap DPR RI yang diperoleh sudah begitu lama. Proses stereotipe memang tidak adil –dan ketidakadilan disebabkan oleh pihak yang melakukan stereotipe tersebut.
Akan tetapi, kita tidak bisa pula menyebut DPR RI adalah pihak yang “terbebas dari dosa”. Stereotip muncul akibat dari adanya anggota DPR RI yang tidur saat rapat, tidak sering hadir dalam rapat, terpidana korupsi, tidak mengerti apa tugas yang ia lakukan, tidak mengerti permasalahan yang sedang dibicarakan, dan sikap-sikap buruk lain termasuk teknis, proses, dan substansi dari UU Cipta Kerja yang penuh kontroversi (misalnya Ketua DPR RI Puan Maharani yang mematikan mikrofon salah satu anggota DPR yang lagi berbicara).
Akibatnya, seluruh anggota DPR RI mendapat stereotipe. Stereotipe secara definitif dapat diartikan sebagai sikap generalisasi atau simplifikasi terhadap kategori orang tertentu. Kategori orang di sini adalah anggota DPR RI.
Seluruh anggota DPR RI dipandang negatif karena sikap segelintir anggota DPR RI. Bahkan jika 90 persen anggota DPR RI melakukan sikap yang buruk, stereotipe terhadap seluruh anggota DPR RI tidak sebaiknya dimiliki karena tetap tidak adil terhadap anggota DPR RI yang tidak terlibat dalam sikap buruk tersebut.
Kalau kita melihat proses perjalanan UU Cipta Kerja di badan legislasi ini, kita mengetahui bahwa ada dua partai politik yang menolak undang-undang tersebut (dua parpol ini sengaja tidak saya sebutkan karena tulisan ini tidak berupaya untuk membela posisi parpol tertentu). Akan tetapi, sikap banyak orang terhadap DPR RI saat ini cenderung merupakan generalisasi dan simplifikasi (stereotipe).
Mereka melihat seluruh anggota DPR RI bertanggungjawab atas disahkannya omnibus law. Padahal, dua fraksi parpol yang menolak tentu kalah secara suara dan mereka tidak bisa berbuat banyak selain daripada sekedar sikap tidak setuju.