Senin 12 Oct 2020 14:59 WIB

Lelaki Tua yang Takzim ke Mbah Yai

Mbah Muh turun dari sepeda lalu menuntunnya saat melewati makam Mbah Yai.

Lelaki Tua yang Takzim ke Mbah Yai (Ilustrasi)
Foto: Rendra Purnama/ Republika
Lelaki Tua yang Takzim ke Mbah Yai (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alfa Anisa

Ini masih cerita tentang Mbah Muh, lelaki tua yang membersihkan piring-piring kotor sebagai salah satu cara menghapus dosa-dosa di masa lalu. Ketika pesantren mengadakan acara, Mbah Muh selalu diminta datang untuk membantu mencuci piring-piring kotor.

Memakai sepatu bot, Mbah Muh selalu sigap dalam bekerja. Membuang sisa-sia nasi dan lauk ke dalam baskom, merendam piring-piring kotor, lalu menyiapkan sabun. Bak besar berisi penuh air sebagai tempat bilasan terakhir.

"Mbah Muh, monggo diminum dulu tehnya," kataku menghidangkan segelas teh dan kerupuk dalam stoples di atas meja kecil, dekat tempat cuci piring.

Mbah Muh yang masih fokus membilas piring sontak menatapku kaget. "Lah, kok ya repot-repot, to, Ndhuk. Makasih, ya," jawabnya, tersenyum.

Aku balas mengangguk, lalu beranjak pergi. Kulihat dari sudut dapur pondok kerumun mbak-mbak santri saling menyeka air mata dengan punggung tangan.

Ada juga yang saling berpelukan meminta dikuatkan. Saat kuamati lebih teliti, tatapan mereka ke arah Mbah Muh yang sibuk mencuci piring.

Tadi aku sempat mengintip tangan Mbah Muh sedikit pucat karena terlalu lama terendam air. Jemarinya yang telah keriput jadi tampak layu.

Sejak acara 40 hari wafatnya Mbah Yai, Mbah Muh telah bekerja keras menunaikan tugasnya mencuci piring. Di sela-sela bekerja, beliau selalu menyempatkan sejenak membaca tahlil di makam Mbah Yai.

Yang membuat kami mengelus dada takjub, setiap azan shalat berkumandang, beliau selalu bergegas pulang, meninggalkan semua pekerjaannya. Konon katanya, Mbah Muh tak pernah absen menjadi muazin di mushalanya, sebagai salah satu cara merawat sembahyang di awal waktu.

Malam ini tugas Mbah Muh telah usai. Piring-piring kotor dan beragam peralatan di dapur telah dibersihkannya, berjajar rapi di paving terbuka dekat tempat cuci piring. Esok hari kami tak akan lagi melihatnya mencuci piring. Beliau akan kembali beraktivitas seperti semula, menjaga mushala dan merawat sepetak sawahnya.

Pada malam yang terakhir Mbah Muh bekerja, Mbak Di diberi amanat Ibu Nyai untuk memberikan upah mencuci piring dan berkat kepada Mbah Muh.

"Mbah Muh, ngapunten. Ini ada titipan dari Ibu Nyai buat Mbah Muh. Semoga bisa diterima," kata Mbak Di penuh kelembutan. Beberapa jam sebelumnya dia telah belajar merangkai kata-kata untuk melakukan hal ini.

Mbak Di menyerahkan satu kantong keresek hitam yang berisi makanan dan amplop putih kepada Mbah Muh. Aku dan teman-teman yang lain mengintip dari jauh, duduk berkerumun di bawah jendela kantor, menguping pembicaraan.

Ada yang bilang Mbah Muh tak mau dibayar untuk jasanya mencuci piring. Jika ia dipaksa menerima, uang itu akan dimasukkan ke kotak amal mushala atau diberikan ke anak-anak yatim.

Lusi yang duduk di sebelahku terdengar terisak pelan. Kami berdebar tak sabar menunggu reaksi Mbah Muh. "Jika Mbah Muh tak mau menerima, terus setiap hari makan apa?" tanya Lusi dengan suara gemetar. Aku juga menyimpan pertanyaan yang sama seperti Lusi.

"Mboten usah dikasih berkat. Nanti enggak ada yang makan, loh," tolak Mbah Muh halus saat tangan Mbak Di menyerahkan kantong keresek hitam, menunggu diterima.

Raut wajah Mbak Di sontak linglung. Dia sudah diberi amanah Ibu Nyai, jadi harus dilaksanakan, tapi ternyata Mbah Muh menolak pemberian.

Mbak Di takut amarah Ibu Nyai jatuh kepadanya, yang bisa membuat berkah seorang guru berkurang. Dengan raut wajah panik, Mbak Di menyerahkan amplop putih yang berisi uang kepada Mbah Muh, berharap segera diterima dan kewajibannya akan segera usai.

"Emm, ngapunten, Mbah Muh. Saya sudah diamanahi Ibu Nyai. Mohon diterima, nggih," pinta Mbak Di dengan sedikit terbata-bata.

"Lah, apalagi ini. Enggak usah, Ndhuk. Saya melakukan ini semua untuk kebaikan dan ketulusan Mbah Yai menuntun Mbah Muh mendapatkan jalan yang lebih baik."

Sorot mata Mbah Muh seperti menerawang jauh. Masa lalu. Terdengar suaranya juga sedikit bergetar, barangkali teringat kebaikan Mbah Yai kepadanya.

"Niki mawon, Mbah, tolong diterima," ujar Mbak Di, masih kukuh.

"Mbah Muh enggak bisa menerima, maaf ya, Ndhuk. He he. Maaf, mbah mau pulang dulu," jawabnya sambil melepas sepatu bot dan menggantinya dengan sandal jepit, lalu beranjak pergi.

"Loh, Mbah!" Mbak Di mengejar langkah Mbah Muh yang beranjak pergi dengan menenteng sepatu bot.

Tiba-tiba Mbah Muh berhenti sebentar, menatap Mbak Di yang mengikutinya dari belakang. Lalu, kulihat tatapan Mbah Muh tertuju ke arah makam yang terletak di belakang masjid. Makam Mbah Yai.

"Ehm, gini saja, Ndhuk. Daripada kamu bingung karena merasa telah diberi amanah Ibu Nyai. Akadnya begini saja, anggap uangnya sudah saya terima. Tapi, Mbah Muh titip uang itu tolong berikan kepada Ibu Nyai buat pembangunan makam Mbah Yai. Biar bisa buat ziarah santri-santri dan masyarakat sekitar," ucap Mbah Muh tersenyum tulus.

"Eh, inggih Mbah. Ya sudah, tak pulang dulu. Makasih, ya, Ndhuk. Assalamualaikum," pamit Mbah Muh berlalu pergi.

"Waalaikumsalam," jawab Mbak Di masih terpaku menatap kepergian Mbah Muh.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement