REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyampaikan beberapa problematika berulang dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) dari sisi proses. Permasalahan proses penyelenggaraan pilkada ini nantinya akan berkaitan dengan hasil pemilihan.
"Yang pertama adalah akurasi DPT (Daftar Pemilih Tetap), membaik tetapi masih bermasalah," ujar Titi dalam konferensi nasional secara daring, Kamis (15/10).
Ia menyebutkan, persoalan akurasi DPT membuat pilkada di Sampang beberapa waktu lalu harus diulang. Permasalahan DPT ini juga sempat disampaikan oleh anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI M Afifuddin beberapa waktu lalu.
Kedua, lanjut Titi, dalam pilkada masih terjadi kecurangan atau manipulasi atas hasil pemilihan. Beberapa daerah seperti Maluku dan Papua membawa sengketa hasil ke Mahkamah Konstitusi (MK), bahkan berujung pada pemecatan penyelenggara pemilihan.
Ketiga, penegakan hukum atas praktik politik uang belum memberikan efek jera. Keempat, aparatur sipil negara (ASN) atau birokrasi daerah berpihak kepada pasangan calon tertentu yang kemudian berdampak pada kualitas pelayanan publik, baik prapilkada maupun pascapilkada.
"Jadi keberpihakan atau politisasi atau mobilisasi politik ASN itu mempengaruhi pelayanan publik bukan hanya pascapilkada, tetapi juga pernah dan saat pilkada," kata Titi.
Kelima, pelaksanaan pilkada belum berbasis gagasan dan program, melainkan lebih mengandalkan hal-hal yang sifatnya artifisial atau simbolik. Praktik mahar politik dan pencalonan yang transaksional terjadi tanpa dibarengi kemampuan penegakan hukum.
Dengan demikian, berdampak pada melemahnya gerakan antikorupsi. Roda pemerintahan tidak efektif dan tidak berorientasi pada pelayanan publik.
Keenam, daerah yang menggelar pilkada dengan satu pasangan calon atau calon tunggal menguat. Dalam Pilkada 2020, ada 25 daerah dengan calon tunggal.
Namun, jumlah itu kemungkinan bertambah menjadi 26 dengan penambahan di Ogan Ilir. Calon pejawat didiskualifikasi, tetapi proses masih berlangsung sampai putusan inkrah.
Menurut Titi, calon tunggal yang menguat dapat memperlemah representasi dan integrasi politik. Semestinya pilkada betul betul merefleksikan representasi warga, tetapi dengan adanya calon tunggal ada hambatan di dalam mencapai tujuan di dalam konsep hasil.
Ketujuh, politik dinasti yang masih terus terjadi di pilkada. Titi mengatakan, politik dinasti memperlemah peran partai politik dan cenderung menyebabkan maraknya kasus korupsi.
"Jadi politik dinasti yang tidak diimbangi oleh kaderisasi proses rekrutmen politik yang demokratis di internal partai dia memperlemah partai politik dan cenderung korup," tutur Titi.
Kedelapan, menguatnya hoaks atau informasi bohong, disinformasi (penyampaian informasi yang salah dengan sengaja untuk membingungkan orang lain), dan misinformasi (informasi yang salah tetapi disebarkan karena publik percaya itu benar). Hal ini membuat keterbelahan pemilih dan memperlemah kultur kewarganegaraan.
Selain itu, menurut Titi, hal itu membuat kontrol kepada pemerintahan dengan calon terpilih tidak berbasis program dan tidak berbasis kinerja. Akan tetapi, berbasis sentimen emosional.
"Ini adalah problematika yang memang harus diatasi di dalam penyelenggaraan pilkada kita," ucap Titi.