Jumat 16 Oct 2020 12:17 WIB

Mengapa Orang Senang Berada di Kerumunan?

Ada penjelasan dari sisi psikologi mengapa orang senang berada di tengah keramaian.

Peserta demo (Ilustrasi). Massa berkerumun tanpa menjaga jarak fisik protokol kesehatan saat mengikuti aksi penolakan terhadap UU Cipta Kerja Omnibus Law di depan kompleks DPRD Jateng, Semarang, Jawa Tengah, Senin (12/10/2020).
Foto: AJI STYAWAN/ANTARA
Peserta demo (Ilustrasi). Massa berkerumun tanpa menjaga jarak fisik protokol kesehatan saat mengikuti aksi penolakan terhadap UU Cipta Kerja Omnibus Law di depan kompleks DPRD Jateng, Semarang, Jawa Tengah, Senin (12/10/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berada di tengah konser musik berskala besar, berdesakan di antara pengantre diskon midnight sale, menyaksikan pertandingan bola secara langsung, ataupun berjalan bersama ribuan demonstran adalah sebuah kegiatan yang disenangi sebagian orang. Aktivitas itu bahkan bisa membuat ketagihan.

Fenomena ini tentu bukan dengan alasan hanya sekadar suka pada suatu benda, hobi, atau isu terkini. Ada penjelasan dari sisi psikologi mengapa orang senang berada di tengah keramaian.

Baca Juga

Orang lain memengaruhi hidup kita

Psychology Today menyebutkan bahwa orang lain turut andil dalam memengaruhi perilaku kita. Salah satu alasannya adalah karena kita hidup dalam dunia yang kompleks. Seseorang akan senang jika ada orang lain yang menavigasi hidupnya.

Psikolog Robert Cialdini, dalam buku Influence: The Psychology of Persuasion memberikan contoh melalui sebuah iklan yang menggunakan kata "paling laris". Orang yang melihat tidak perlu diyakinkan apakah produk tersebut baik atau tidak, mereka hanya perlu mengetahui bahwa orang lain berpendapat demikian.

Dengan kata lain, mengikuti kerumunan memungkinkan seseorang dapat berfungsi dalam lingkungan yang rumit. Sebab, tidak semua orang memiliki waktu untuk menambah pengetahuan atau meneliti sesuatu dengan detail.

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang bertahan bila bersatu. Hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi psikologi seseorang.

Seorang peneliti di University of Essex, Julia Coultas mengatakan, "Bagi seseorang yang bergabung dengan suatu kelompok, meniru perilaku mayoritas akan menjadi perilaku yang masuk akal dan adaptif."

Di masa lalu evolusi, nenek moyang manusia selalu berada di bawah ancaman. Kesadaran yang tajam tentang orang lain membantu nenek moyang manusia bertahan hidup di dunia yang berbahaya dan tidak pasti. Manusia modern telah mewarisi perilaku adaptif tersebut.

Refleksi yang bijaksana tentang pengaruh sosial dapat membawa kita pada kesadaran yang lebih besar tentang diri kita sendiri dan hubungan kita dengan orang lain.

Berada di kerumunan sangat menyenangkan

Menurut Independent.ie, seorang psikolog dari University of Sussex, John Drury, mengatakan hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa orang-orang yang berada di tempat yang sangat ramai justru menemukan diri mereka yang seutuhnya. Survei ini dilakukan pada penonton yang menyaksikan DJ Fatboy Slim di Big Beach Boutiquw pada tahun 2002 yang dihadiri oleh 250 ribu orang.

"Itu memang acara yang sangat ramai. Namun, di antara peserta survei kami, semakin mereka mendefinisikan diri mereka sebagai bagian dari kerumunan, semakin sedikit mereka melaporkan merasa terlalu ramai," kata Dr. Drury.

Pada acara musik, kerumunan adalah bagian penting dari daya tarik. Meski berada di tempat ramai dengan berbagai identitas, ruang pribadi mereka tidak akan terusik.

"Pada saat orang berbagi identitas sosial dengan kita, kehadiran mereka sama sekali tidak mengganggu ruang kita. Mereka bukan 'yang lain', mereka adalah 'kita'," ujar Dr. Drury.

Menyatu dalam kerumunan

Sementara itu, The Cut menyebutkan bahwa kata "kegembiraan kolektif" sudah diciptakan oleh sosiolog Prancis, Emile Durkheim, sejak seabad lalu untuk menggambarkan euforia yang menular. Ini merupakan perasaan yang bersinar saat terkoneksi dengan manusia lain.

Shira Gabriel dari SUNY Buffalo, sebuah universitas di Bufallo, New York mengatakan bahwa kegembiraan kolektif adalah sebuah hasrat memenuhi kebutuhan manusia untuk menjadi bagian dari sebuah kelompok sosial dengan cara yang cenderung diabaikan, seperti mengikuti aksi protes, menyaksikan pertunjukan, atau olahraga pro agar lebih merasa terhubung, bahagia, dan bermakna secara pribadi.

"Ini adalah pengalaman khusus, perasaan terhubung, bisa berada di kerumunan raksasa seperti itu. Anda dan semua orang di stadion mengetahui lagu-lagunya, dan ketika Anda merasakan not-notnya menyatu, Anda mengalaminya secara kolektif. Anda merasakan hal yang sama meski tidak mengenal semua orang di sana," kata Gabriel.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement