Kamis 10 Dec 2020 05:51 WIB

Pilkada dan Jihad Melawan Korupsi

Pilkada diuji mampukah lahirkan pemimpin yang siap berjihad lawan korupsi

Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) berpakaian hazmat mengarahkan pemilih memasukan surat suara ke dalam kotak suara di TPS 46 Paku Jaya, Serpong Utara, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (9/12/2020). Penggunaan alat pelindung diri (APD) lengkap tersebut untuk meyakinkan masyarakat menggunakan hak pilihnya pada Pilkada Tangerang Selatan 2020 meski di tengah pandemi COVID-19.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, IHRAM.CO.ID, Verdy Firmantoro, Dosen Komunikasi Politik FISIP UHAMKA dan Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia

Pesan anti-korupsi penting menjadi early warning system dalam Pilkada serentak di masa pandemi ini. Pasalnya, keselamatan rakyat yang dipertaruhkan demi kontestasi elektoral harus benar-benar menghasilkan pemimpin yang berintegritas.

Jika pandangan pemerintah bahwa penundaan Pilkada tidak berasalan karena tidak ada satu institusi yang dapat memastikan akhir pandemi, lantas siapa juga yang bisa memastikan pemimpin yang terpilih di masa darurat seperti ini benar-benar berkualitas dan sesuai ekspektasi?

Dipilih di masa normal saja banyak yang tidak normal, apalagi dipilih di masa yang tidak normal. Tentu setiap kebijakan ada konsekuensi yang perlu dipertanggungjawabkan.

Korupsi menjadi benalu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peristiwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK akhir-akhir ini dan peringatan hari anti korupsi yang berdekatan menjadi cermin realitas demistifikasi demokrasi.

Spirit anti-korupsi belum melembaga secara mapan dalam sistem, sehingga motif-motif korupsi masih terbuka terjadi, seperti corruption by need (korupsi karena keperluan), corruption by greed (korupsi karena serakah), corruption by opportunity (korupsi karena kesempatan) dan corruption by exposes (korupsi yang terbuka) (Hehamahua, 2017).

Oleh karena itu, pertaruhan elektoral hari ini bukan hanya soal pembuktian tidak meningkatnya klaster Covid-19, tetapi secara jangka panjang juga pertaruhan uji kepemimpinan nasional dan daerah. 

Destabilitas Politik

Ekskalasi goncangan politik tanah air semakin tinggi dengan ditunjukkan mulai dari gugatan pelemahan UU KPK, penolakan Omnibus Law Cipta Kerja, dorongan penundaan Pilkada serentak, penangkapan Menteri KKP dan Mensos hingga perseteruan FPI dan kepolisian.

Destabilitas politik seperti ini terjadi tentu bukan tanpa alasan, pro kontra merespon kebijakan dan gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah menjadi representasi belum tercapainya kesepahaman bersama (mutual understanding). Selain itu, segregasi di ruang medsos semakin memperuncing turbulensi politik. 

Penetrasi konflik horisontal dengan benturan kepentingan yang beragam sebagai muara dari apa yang disebut dengan political cynicism (sinisme politik) atau political disaffection (ketidakpuasan politik) (Kaid & Holtz-Bacha, 2008).

Praktik korupsi yang dilakukan para elite politik yang semestinya menjadi simbol publik juga semakin mempertebal ketidakpercayaan sosial (social distrust). Lebih lanjut Holtz-Bacha dalam konteks itu menekankan bahwa sikap dan respon negatif tidak bisa terhindarkan.

Destabilitas politik mengarahkan ruang-ruang publik semakin terpolarisasi dan bertegur curiga dengan saling menyalahkan satu sama lain.

Pilkada serentak, penindakan kasus korupsi, penembakan 6 Laskar FPI, pro kontra vaksinasi menjadi bingkai utama yang menuntun bandul konstelasi politik.

Terlepas besarnya campur tangan politik, penting tidak ada kompromi untuk urusan-urusan yang merugikan negara, merugikan rakyat. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement