Oleh : Nidia Zuraya*
REPUBLIKA.CO.ID, Kementerian Sosial (Kemensos) menghentikan pemberian santunan bagi ahli waris pasien Covid-19 yang meninggal dunia. Keputusan tersebut dituangkan dalam Surat Edaran Nomor 150/3.2/BS.01.02/02/2021 tentang Rekomendasi dan Usulan Santunan Ahli Waris Korban Meninggal Akibat Covid-19, yang dikeluarkan oleh Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial (PKSBS) pada 18 Februari 2021.
Sebelumnya, Kemensos memberikan bantuan kepada ahli waris pasien Covid-19 yang meninggal sebesar Rp 15 juta per orang. Menurut Kemensos bantuan ini sebagai bentuk perhatian dan belasungkawa dari negara.
Kini Kemensos tak lagi memberikan bantuan santunan tersebut. Dihapusnya santunan Covid-19 ini karena beberapa faktor. Di antaranya kekurangan uang.
Keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 dan dampaknya membuat bantuan santunan kematian akibat Covid-19 ini tak lagi dimasukkan dalam program prioritas penanganan Covid-19 nasional. Pada November tahun lalu, Direktur PKSBS Kemensos, Sunarti, menyebut dibutuhkan Rp 27 miliar untuk program santunan ini.
Pada 2020, anggaran perlindungan sosial Kemensos mencapai Rp 128,9 triliun. Namun untuk 2021 anggarannya dipangkas menjadi Rp 110 triliun.
Selain anggaran minim, Mensos Tri Rismaharini menyebut kebijakan itu salah administrasi. Pasalnya, kebijakan itu dikeluarkan pejabat setingkat dirjen. Harusnya, kebijakan itu dikeluarkan setingkat menteri.
Santunan untuk ahli waris orang yang meninggal akibat Covid-19 sudah diumumkan ke publik sejak awal pandemi. Namun dasar hukumnya baru diterbitkan oleh Kemensos pada Juni 2020.
Untuk bisa mendapatkan dana santunan Rp 15 juta ini Kemensos memberlakukan sejumlah persyaratan. Ada tujuh syarat yang harus dipenuhi ahli waris untuk mendapatkan santunan.
Salah satunya, persyaratan rekam medis dan hasil uji laboratorium. Kedua persyaratan ini disebut menyulitkan keluarga korban Covid-19 mengajukan santunan. Karenanya banyak ahli waris meski sudah mengajukan sejak pertengahan 2020, namun hingga kini santunannya tak kunjung cair.
Meski banyak persyaratan, namun dalam praktiknya bantuan santunan ini banyak disalahgunakan. Dalam beberapa kasus, pihak rumah sakit justru menawarkan dana santunan kepada keluarga pasien non Covid-19 yang meninggal jika mau dimakamkan dengan prosedur Covid-19.
Salah seorang tetangga saya baru-baru ini ditawari dana santunan Covid-19 oleh pihak rumah sakit jika neneknya yang baru meninggal bersedia dimakamkan dengan prosedur Covid-19. Padahal, menurut kenalan saya itu, hasil rekam medis neneknya tidak menunjukkan bahwa almarhumah terinfeksi Covid-19.
Pengalaman serupa juga dialami oleh kenalan saya lainnya. Keluarga besar kenalan saya ini akhirnya menerima santunan sebesar Rp 3 juta setelah bersedia almarhumah ibunya dikuburkan di pemakaman khusus Covid-19 meski tidak tercatat sebagai pasien Covid-19.
Kabar mengenai ibunya yang dimakamkan di pemakaman khusus Covid-19 ini pun menyebarluas ke para tetangga. Dampaknya, tak ada lagi pembeli yang datang ke lapak gorengannya. Miris memang, hanya karena uang santunan yang nilainya Rp 3 juta, sumber penghasilannya jadi terputus.
Langkah Mensos Risma untuk menyetop pemmberian bantuan santunan kepada ahli waris pasien Covid-19 menurut saya sudah tepat. Apalagi, ada oknum nakal yang memanfaatkan kematian pasien untuk meraup keuntungan lewat bantuan santunan bagi ahli waris pasien Covid-19.
Hingga 2 Maret 2021, data resmi yang dipublikasikan Kementerian Kesehatan meyebutkan total korban meninggal dunia akibat Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 36.518 kasus. Bisa dibayangkan jika separuh dari data resmi itu ternyata bukan pasien Covid-19 berapa besar uang yang bisa diraup para oknum nakal tersebut.
Praktik manipulasi data pasien Covid-19 yang meninggal ini memang harus dihentikan agar tidak ada penyalahgunaan anggaran negara. Tentunya kita semua tidak menginginkan adanya skandal bantuan sosial (bansos) jilid kedua.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id