Oleh : Indira Rezkisari*
REPUBLIKA.CO.ID, Ramadhan sudah di depan mata. Bila tahun lalu menjadi Ramadhan pertama di masa pandemi, tahun ini rasanya masyarakat sudah lebih siap menyambut Ramadhan kedua di tengah pandemi Covid-19.
Saya ingat betapa ‘Nano-Nano’ rasanya Ramadhan tahun lalu. Banyak pertanyaan timbul, apakah kita bisa bertahan berpuasa saat Covid-19 menyerang dunia. Apakah tubuh ini akan kuat terjaga imunitasnya, hingga pertanyaan apakah saya bisa pulang mudik saat Lebaran.
Tahun ini pertanyaan tersebut masih cukup sama. Bedanya mungkin tahun ini kita akan menghadapinya dengan bekal pengetahuan setahun menjalani pandemi.
Ya, ya, semua orang rasanya sudah tahu dan sudah bosan mungkin diberitahu, pokoknya selama pandemi, mau sudah divaksin atau belum, harus selalu menjaga prokes atau protokol kesehatan. Artinya menjaga jarak tetap harus dilakukan, menggunakan masker juga masih menjadi perhatian utama, dan mencuci tangan tetap tidak boleh ketinggalan dilakukan.
Saya ingat mengedit satu berita soal berbuka puasa di restoran. Narasumber berita itu adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Anies mengatakan Ramadhan kali ini, karena angka kasus positif Covid-19 sudah mulai menurun dibandingkan akhir tahun lalu dan awal tahun ini, maka berbuka puasa di restoran atau kafe sudah dibolehkan.
Syaratnya, kapasitas restoran hanya boleh diisi pengunjung 50 persen saja. Aturan ini sebenarnya berlaku sudah sejak awal pandemi kalau tidak salah. Tapi ada kegembiraan tersendiri bagi saya membaca berita tersebut. Pasalnya saya ingat betul kondisi awal tahun ini. Ketika pascapilkada dan libur akhir tahun kasus positif Covid-19 terus meningkat hingga mencapai belasan ribu kasus per harinya.
Mimpi buruk rasanya. Apalagi ketika itu berita yang muncul bertubi-tubi tidak enak. Mulai dari pasien positif Covid-19 meninggal di taksi daring akibat ditolak beragam rumah sakit. Sampai mengalami sendiri seorang sahabat yang dipaksa pulang dari IGD meski kondisinya positif Covid-19 karena rumah sakit harus menampung pasien lain yang kondisinya lebih buruk dari dia. Cerita mengenai penuhnya rumah sakit memilukan bagi saya.
Meski kasus Covid-19 menurun sudah, tapi belum bijak memang jika Ramadhan tahun ini dihadapi dengan euforia berlebihan seperti sebelum pandemi. Bagi saya, Ramadhan tahun ini rasanya lebih bijak dihadapi dengan penuh kehati-hatian juga fokus pada ibadah ke Allah SWT.
Buat banyak orang, Ramadhan tahun ini mungkin sama pilunya dengan Ramadhan tahun lalu. Meski pemerintah menyebut pemulihan ekonomi sudah mulai berjalan, tapi faktanya laju pemulihan ekonomi belum secepat dampak ekonomi yang diakibatkan pandemi.
Berdasarkan data BPS yang dirilis pertengahan Februari tahun ini, jumlah penduduk miskin Indonesia pada periode September 2020 mencapai 27,55 juta orang. Data terkini Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut menunjukkan angka kemiskinan di Tanah Air mencapai angka 10,9 persen pada September 2020.
Jumlah tersebut tercatat bertambah 2,76 juta orang bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Menurut BPS, kenaikan jumlah orang miskin akibat pandemi yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak berjalan optimal.
Pandemi otomatis berdampak pula ke meningkatnya angka pengangguran. Dari data BPS, jumlah pekerja yang terdampak pandemi mencapai 29,12 juta orang. Angka tersebut setara dengan 14,28 persen dari keseluruhan populasi penduduk usia kerja yang mencapai 203,97 juta orang.
Di tengah kesulitan tersebut, pemerintah yang mengklaim ekonomi sudah mulai pulih juga menghentikan sejumlah bantuan ke masyarakat. Bantuan langsung tunai atau BLT bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp 5 juta sudah ditiadakan sejak 2021.
Lalu mulai bulan April, bantuan sosial tunai atau BST sebesar Rp 300 ribu juga tidak akan dilanjutkan di bulan Mei. Selama ini pemerintah sudah menyalurkan Rp 12 triliun setiap bulan ke 10 juta keluarga penerima manfaat BST sejak awal 2021.
Kalau Ramadhan ini Anda masih bisa makan enak sesekali, bahkan masih bisa membeli pakaian baru untuk diri sendiri, jangan lupakan pula mereka yang terdampak pandemi.
Sejatinya maksud Ramadhan untuk menahan lapar dan haus sekaligus menahan hawa nafsu adalah pelajaran bagi manusia untuk mengingat sesama saudaranya yang hidup dalam kesusahan. Data menunjukkan, pandemi telah membuat banyak saudara kita yang sehari-hari saja mungkin sudah terbiasa menahan lapar, akibat kehilangan pekerjaan atau berkurangnya pemasukan.
Jangan lupa juga kondisi pandemi belum dicabut dari Tanah Air. Artinya Ramadhan sekali lagi masih harus dijalani dengan kehatian-hatian.
Selamat menjalankan ibadah Ramadhan. Semoga Ramadhan tahun ini bisa memberi kita makna lebih dari sekadar menahan lapar dan haus.
*Penulis adalah redaktur Republika.co.id