REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Abhan mengatakan, potensi kecurangan meningkat kemungkinan terjadi dalam pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada. Menurutnya, hal ini terjadi karena selisih suara yang kecil antarpasangan calon kepala daerah yang diikutsertakan dalam PSU.
"PSU kali ini saya rasa lebih kompetitif karena di antara pasangan calon karena masing-masing sudah mengetahui selisih perolehan suara sehingga membuat tingginya potensi pelanggaran," ujar Abhan dikutip laman resmi Bawaslu RI, Rabu (21/4).
Dia meminta, jajaran pengawas pemilu di daerah melakukan pengawasan secara optimal. Sebab, ada beberapa permasalahan utama yang sering terjadi dalam PSU, seperti persoalan daftar pemilih tetap (DPT) dan daftar pemilih tambahan (DPTb), politik uang, atau kurangnya profesional para penyelenggara.
"Perlu melakukan koordinasi secara berjenjang mulai dari Pengawas TPS ke atas. Juga permasalahan di Morowali Utara dan Halmahera Utara dengan tidak diberikan hak pilih para buruh sehingga dilakukan PSU. Untuk di Sabu Raijua kita tunggu SK penetapan dari KPU," kata Abhan.
Dia juga meminta jajaran Bawaslu daerah yang menggelar PSU atau penghitungan surat suara ulang (PSSU) untuk mempelajari putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Mulai dari dalil permohonan, jawaban termohon, hingga pertimbangan Mahkamah, sebagai pijakan dalam pengawasan PSU.
Anggota Bawaslu RI Mochammad Afifuddin menambahkan, perlu keakuratan dan kecermatan dalam pengawasan PSU sehingga bisa memperbaiki kesalahan. "Jangan sampai muncul 'sampah-sampah' (kesalahan)," tutur dia.
Afif meminta perhatian para pengawas daerah khususnya untuk kasus yang menonjol seperti diskualifikasi calon di Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Sabu Raijua. Termasuk potensi kekerasan dan kecurangan lainnya di 16 daerah yang menggelar PSU dan satu daerah yang melaksanakan PSSU.