Selasa 13 Jul 2021 15:17 WIB

Arkeolog Temukan Petunjuk Runtuhnya Peradaban Suku Maya

Petunjuk runtuhnya peradaban Suku Maya itu berasal dari analisis tinja.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Dwi Murdaningsih
Para arkeologis melakukan survei jalan-jalan kuno suku Maya dari udara.  ilustrasi
Foto: University of Miami via live science
Para arkeologis melakukan survei jalan-jalan kuno suku Maya dari udara. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, QUEBEC -- Kotoran manusia dapat mengungkapkan lebih dari yang Anda kira. Bahkan ketika kotoran itu usianya benar-benar tua.

Dalam sebuah studi baru tentang peradaban Maya di Amerika Tengah, sampel kotoran purba telah menunjukkan bagaimana ukuran komunitas ini bervariasi secara signifikan dalam menanggapi perubahan iklim kontemporer.

Baca Juga

Para peneliti mengidentifikasi empat periode yang berbeda dari pergeseran ukuran populasi sebagai reaksi terhadap periode yang sangat kering atau sangat basah. Periode itu adalah 1350-950 SM, 400-210 SM, 90-280 M, , dan 730-900 M.

Tumpukan kotoran yang rata menunjukkan bahwa kota Itzan (kini Guatemala) dihuni sekitar 650 tahun lebih awal dari yang ditunjukkan oleh bukti arkeologis sebelumnya. 

"Penelitian ini seharusnya membantu para arkeolog dengan menyediakan alat baru untuk melihat perubahan yang mungkin tidak terlihat dalam bukti arkeologis, karena bukti tersebut mungkin tidak pernah ada atau mungkin telah hilang atau dihancurkan," kata ahli biogeokimia Benjamin Keenan, dari McGill University di kanada, dilansir di Science Alert, Jumat (9/7).

Studi ini menggunakan metode analisis yang relatif baru berdasarkan stanol tinja. Stanol tinja adalah molekul organik dalam kotoran manusia yang terawetkan dalam lapisan sedimen di bawah danau dan sungaidalam jangka waktu yang lama.

Konsentrasi stanol ini dari waktu ke waktu (seperti ditandai oleh lapisan sedimen) dapat memberikan petunjuk kepada peneliti tentang perubahan populasi yang dapat didukung dengan catatan sejarah lainnya. Sejauh ini, stanol telah terbukti menjadi indikator akurat tentang berapa banyak orang yang tinggal di tempat tertentu pada waktu tertentu.

Stanol diekstraksi dari sebuah danau di dekat situs Itzan. Temuan tersebut kemudian dicocokkan dengan data iklim historis, termasuk bukti curah hujan dan tingkat serbuk sari (menunjukkan tutupan vegetasi) yang tertinggal dalam catatan geologis. Para peneliti menemukan beberapa korelasi tetapi juga beberapa pergeseran populasi baru di lapisan kuno sisa-sisa kotoran.

"Penting bagi masyarakat secara umum untuk mengetahui bahwa ada peradaban sebelum kita yang terpengaruh dan beradaptasi dengan perubahan iklim," kata ahli biogeokimia Peter Douglas, dari McGill University.

Menurut Douglas, dengan menghubungkan bukti perubahan iklim dan populasi, kita dapat mulai melihat hubungan yang jelas antara curah hujan dan kemampuan kota-kota kuno ini untuk mempertahankan populasinya.

Tim juga dapat menggunakan catatan tinja untuk mengidentifikasi lonjakan populasi sekitar waktu serangan 1697 M oleh Spanyol di benteng Maya terakhir dan yang belum didokumentasikan sejarawan  sampai titik ini.

Ada juga titik ketika populasi tinggi yang diketahui di Itzan tidak sesuai dengan volume stanol tinja. Para peneliti berpikir ini mungkin karena kotoran manusia digunakan oleh komunitas Maya ini sebagai pupuk tanaman, cara menangkal degradasi tanah dan hilangnya nutrisi di lahan pertanian mereka.

"Stanol tinja memiliki potensi kuat untuk berfungsi sebagai proxy untuk perubahan populasi manusia dan hewan di lanskap Mesoamerika, sekaligus memberikan wawasan tentang perubahan penggunaan lahan," para peneliti menyimpulkan dalam jurnal mereka yang diterbitkan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement