REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof OK Saidin, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia Periode 2020-2023
Jika ditelusuri beberapa referensi tentang Hukum Paten, lingkup pelindungan paten hanya terbatas pada dua bentuk saja yaitu; Paten dan Paten Sederhana. Keduanya merupakan invensi yang terdiri dari Paten Produk dan Paten Proses.
Namun saat ini dalam Rancangan Revisi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, yang rencananya akan diusulkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, bentuk paten ditambah satu lagi sehingga menjadi tiga, yaitu; Paten Produk, Paten Proses dan Paten Metode. Demikian juga jenis paten yang dilindungi hendak ditambahkan, tentang Artificial Intellegence (AI) yang menghasilkan invensi yang berkaitan dengan metode bisnis.
Di samping itu ketentuan Pasal 20 UU No.13 Tahun 2016, sudah dicabut dan digantikan dengan Pasal 107 UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun ditambah dengan Pasal 20 A yang isinya, Pemegang Paten – sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 – wajib membuat pernyataan pelaksanaan Paten di Indonesia dan memberitahukannya kepada Menteri setiap akhir tahun setelah diberikan. Rencana penambahan Pasal 20 A ini, menurut hemat kami juga tidak perlu dan itu hanya menambah kerancuan berpikir, seolah-olah paten itu memang wajib dilaksanakan di Indonesia setelah didaftarkan.
Padahal pengertian dilaksanakan itu, menurut ketentuan Pasal 107 UU No.11 Tahun 2020 –yang nanti akan menjadi Pasal 20 UU Paten jika Revisi ini disetujui- tidak harus membuat atau mengasilkan produk atau proses di Indonesia. Cukup dengan melisensikan atau mengimpor saja, itu sudah dianggap sebagai pelaksanaan Paten.
Pelaksanaan Paten
Pasal 107 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mencabut ketentuan Pasal 20 UU No.13 Tahun 2016, berbunyi;
(1) Paten wajib dilaksanakan di Indonesia.
(2) Pelaksanaan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ialah sebagai berikut:
a. Pelaksanaan paten produk yang meliputi membuat, mengimpor, atau melinsensikan produk yang diberi paten;
b. Pelaksanaan paten proses yang meliputi membuat, melisensikan, atau mengimpor produk yang dihasilkan dari proses yang diberi paten; atau
c. Pelaksanaan paten metode, sistem, dan penggunaan yang meliputi membuat, mengimpor, atau melisensikan produk yang dihasilkan dari metode, sistem, dan penggunaan yang diberi Paten.
Ketentuan ini nantinya akan menjadi Ketentuan Pasal 20 UU Paten yang akan direvisi nanti. Artinya seluruh ketentuan yang termuat dalam Pasal 107 UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja akan diambil utuh yang akan ditempatkan dalam Pasal 20 dan ditambah dengan ketentuan Pasal 20 A yang berbunyi, "Pemegang Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 wajib membuat pernyataan pelaksanaan Paten di Indonesia dan memberitahukannya kepada Menteri setiap akhir tahun setelah diberikan."
Ada dua hal yang perlu diberi catatan dari redaksi Pasal 20 dan Pasal 20 A yang nantinya akan ditempatkan dalam Undang-undang Paten hasil revisi. Terkait dengan ketentuan Pasal 20, ada beberapa kritikan yang perlu disampaikan. Pertama, pendaftaran paten asing di Indonesia tidak lagi dapat diharapkan untuk menjadi instrumen dalam percepatan proses alih teknologi di Indonesia.
Kedua, pendaftaran paten asing di Indonesia tak lagi dimaksudkan sebagai sarana untuk terbukanya peluang investasi asing. Ketiga, pendaftaran paten asing di Indonesia tak lagi dapat diharapkan untuk dapat menyerap tenaga kerja lokal.
Hal ini terjadi karena sudah tidak ada lagi keharusan pemilik paten asing yang terdaftar di Indonesia untuk membuat produk dan menggunakan proses di Indonesia. Perbuatan hukum yang masuk dalam kategori peaksanaan paten sudah cukup terwakili, jika pemilik paten yang terdaftar di Indonesia melisensikan patennya kepada pengusaha Indonesia atau mengimpor produk patennya oleh pengusaha Indonesia.