REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Di peringatan hari kesehatan mental sedunia setiap 10 Oktober yang jatuh pada hari ini, ternyata angka depresi dan cemas di Tanah Air justru meningkat akibat Covid-19.
Staf Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), sekaligus psikolog klinis, Adriana Soekandar Ginanjar, mengatakan depresi meningkat karena dua hal yaitu Covid-19 yang tak segera berakhir dan menjadi sesuatu yang baru.
Adriana membenarkan, penelitian WHO dan organisasi kesehatan memang mengungkap kecenderungan depresi meningkat saat pandemi.
"Ketika di awal pandemi Covid-19, kita kan belum merasakan dampaknya, awal-awal masih optimistis dan berharap semua berlalu atau selesai setelah ada vaksin. Tetapi kan ternyata tak seperti itu, jadi tidak mengira pandeminya (berlangsung) lama kan," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (10/10).
Kemudian, dia melanjutkan, Covid-19 menjadi sesuatu yang baru. Misalnya harus kini pekerja harus bekerja di rumah, padahal itu sesuatu yang belum pernah dialami sebelumnya, Atau ibu-ibu pekerja yang mengalami triple burden karena di rumah harus bekerja tetapi juga kini harus merawat anaknya, dan menghadapi masalah seperti perilaku anak. Persoalan belum ditambah lagi dengan cemas tertular virus itu.
Padahal, kata dia, jika mengalami stres sebelum pandemi bisa langsung pergi keluar rumah dan melepaskan beban dengan bertemu dengan teman dan kolega. Tetapi kini masyarakat harus terus ada di rumah. Ini juga membuat kemungkinan terjadinya konflik di rumah lebih tinggi. Kalaupun keluar rumah harus pakai masker dan pulang harus buru-buru segera mandi. "Kebiasaan ini yang belum pernah dialami dan terjadi secara mendadak," ujarnya.