Oleh : Nashih Nashrullah, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Bagi Abu Al Hasan Al-Mawardi dalam karya monumentalnya, al-Ahkam as-Sulthaniyah, ada dua tugas pokok yang diemban oleh otoritas suatu negara Islam, atau negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, yakni menjaga agama (hirasat ad-din) dan mengatur perkara duniawi (siyasat ad-dunya).
Tugas ini kemudian dijabarkan lagi oleh sosok kelahiran Bashrah, Irak, tersebut menjadi setidaknya tujuh kewajiban utama. Ketujuh tugas itu seperti yang disebutkan dalam karya al-Mawardi berikutnya dengan judul, Adab ad-Din wa ad-Dunya, yaitu, pertama, menjaga agama dari penyelewengan. Kedua, melindungi umat dari musuh.
Ketiga, pengelolaan infrastruktur agar maslahat rakyat tercukupi. Keempat, pemberdayaan harta untuk kemaslahatan agama. Kelima, peradilan. Keenam, penegakan hukum dan pemberian sanksi, dan terakhir, adalah memilih para pemimpin yang berintegritas. Gagasan yang disampaikan al-Mawardi ini pun menginspirasi para pemikir tata kenegaraan pada masa berikutnya.
Bagi al-Mawardi, kekuasaan, dengan maknanya otoritas pemerintahan, lebih mengerucutnya lagi yaitu negara, adalah unsur terpenting demi tegaknya agama. Kekuasaan juga sangat vital sebagai gerbang bagi upaya perbaikan umat. Tanpa itu, maka sulit kiranya mengakomodasi hukum-hukum Islam sebagai perundang-undangan negara.
Apa yang disampaikan al-Mawardi tentu tidaklah salah, pun bukan ide yang klise. Al-Mawardi berbicara dalam konteks negara Islam dengan sistem yang murni mengadopsi Islam sebagai konstelasi negara. Sah-sah saja, negara tertentu, misalnya, mengadopsi pemikiran politik Sang Tokoh. Apalagi, dalam hiruk pikuk berbagai sistem pemerintahan yang bergulir belakangan, tiap negara berhak memilih.
Gagasan al-Mawardi juga menjadi menarik bila dikorelasikan dengan fakta bahwa dinamika hukum Islam tak pernah lepas dari kondisi sosial, politik, dan budaya yang berkembang ketika itu, pun demikian dengan kekuasaan. Kekuasaan, dalam arti negara, sangat berkontribusi untuk implementasi hukum-hukum Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Manna' al-Qaththan dalam Tarikh Tasyri' al-Islamy mengatakan, periodisasi penerapan hukum Islam melewati fase-fase yang kental dengan nuansa-nuansa sosial, politik, dan budaya berdinamika ketika itu. Implementasi hukum Islam memasuki puncaknya, dalam artian terlembagakan dan memasyarakat, ketika kekuasaan berada dalam genggaman umat Islam.
Hukum Islam terlaksana dengan baik di tiap lini kehidupan selama hampir 15 abad lamanya, sekalipun terkadang pasang surut, tetapi konstelasinya tidak berubah, kekuasaan memegang perang vital dalam pelaksanaannya. Kekuasaan dan hukum Islam lantas saling berkolaborasi dan saling beriringan satu sama lain. Pemandangan semacam ini nyaris jamak diketahui di belahan dunia Islam.
Namun, dalam konteks kekinian dan negara demokrasi, kekuasaan itu mengundang multitafsir. Haruskah negara adalah makna tunggal bagi definisi kekuasaan? Jika iya, definisi itu bisa jadi tidak akan menguntungkan bagi Muslim yang tinggal di negara dengan sistem pemerintahan yang sekuler, atau tidak Islam ataupun juga tidak sekuler sekalipun seperti Indonesia.
Padahal, sejarah membuktikan bahwa kekuasaan dengan makna negara, dalam konteks Indonesia, bukan jaminan hukum Islam teradopsi dengan mulus. Di Era Orde Baru, contoh kasusnya ialah UU Perkawinan No 1 Tahun 1974. Perumusan hingga pemberlakuannya melalui proses yang cukup alot dari penguasa Orde Baru. Dan, kasus teranyar tentunya, adalah RUU Jaminan Produk Halal.
Dalam kehidupan majemuk berbangsa dan bernegara, kekuasaan, bagi Max Weber, bukan sekadar negara. Kekuasaan adalah kesempatan (change probability) yang ada pada seseorang atau sejumlah orang untuk melaksanakan kemauannya sendiri dalam suatu tindak sosial meskipun mendapat tantangan dari orang lain yang terlibat dalam tindakan itu.
Salah satu bentuk kekuasaan itu berwujud pengaruh (influence) yang dilakukan dengan cara-cara persuasif untuk meyakinkan orang lain untuk mengikuti pandangannya. Pengaruh ini dapat dilakukan dengan memanipulasi pendapat publik melalui berbagai media, misalnya propaganda, pembetulan secara politis, sensor, dan represi.
Keran demokrasi saat ini justru membuka peluang besar bagi umat Islam untuk memperjuangkan hukum-hukum Islam, ke dalam hukum negara, atau setidaknya menjadi referensi dan acuan utama bagi perundang-undangan negara. Kanalnya, tak mesti kekuasaan dalam arti negara, tetapi bisa melalui kendaraan politik, pendekatan personal, sosialisasi, atau propaganda.
Jika makna kekuasaan menurut al-Mawardi adalah negara, tentu tidaklah salah, dan itu merupakan salah satu media agar hukum Islam bisa terokomodasi dengan baik. Akan tetapi, alternatif pemaknaan lain tentang kekuasaan, justru akan menunjukkan keragaman dan fleksibilitas ajaran Islam itu sendiri.
Dalam konteks Indonesia, berbagai saluran untuk mengimplementasikan hukum Islam tentu sangatlah terbuka, tinggal sejauh mana keterbukaan dan kesiapan kita terhadap ragam definisi pemaknaan itu sendiri, haruskah kekuasaan terbatas pada kursi pemerintahan, saja?