REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Siapa tak kenal serial animasi Nussa dan Rara (Nussa). Di balik animasi fenomenal karya anak bangsa itu ternyata berdiri sosok-sosok kreatif yang punya idealisme tinggi.
Hal itu terungkap dari kunjungan dadakan Wakil Ketua DPR RI Abdul Muhaimin Iskandar (Gus Muhaimin) ke rumah produksi Nussa di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, Kamis, 4 November 2021. Pria yang akrab disapa Gus Muhaimin ini disambut langsung CEO Nussa, Aditya Triantoro, CCO Nussa, Bony Wirasmoro, dan COO Nussa, Ricky Manopo.
Gus Muhaimin yang didampingi Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda pun sempat diajak tour singkat untuk melihat perlengkapan produksi serial Nussa. “Pantas saja kalo Nussa yang bagus dari segi produksi dan kontennya, ternyata tim yang handle adalah para animator top dunia,” ujar Gus Muhaimin.
Dia mengungkapkan keluarga utama anak-anaknya sangat mengemari serial Nussa yang tayang melalui platform youtube. Bahkan anaknya yang kebetulan juga bernama Rara, tidak bisa tidur jika belum menonton tayangan Nussa. “Anak saya si Rara sangat mengemari serial Nussa, dari situ saya juga ikut nonton dan tahu konten dari Nussa sangat bagus dan penuh dengan unsur mendidik,” katanya.
Gus Muhaimin mengatakan Indonesia sangat butuh serial seperti Nussa. Dulu Indonesia punya serial legendaris seperti si Unyil yang mengabungkan unsur edukasi dan entertainment. Namun karena penggarapannya masih tradisional dan tidak segera di-update, serial tersebut akhirnya ditinggalkan penontonnya. “Pada jamannya Si Unyil cukup digemari karena ada unsur ‘Edutainment’ di situ. Tetapi karena pengarapannya masih tradisional akhirnya banyak anak-anak kita yang menggemari serial dari luar negeri yang lebih menarik dilihat seperti Upin-Ipin atau serial garapan Disney maupun berbagai rumah produksi dari luar negeri,” katanya.
Ketua Umum DPP PKB itu menegaskan Indonesia butuh lebih banyak serial animasi berkualitas untuk mengimbangi gempuran konten-konten negatif yang banyak berseliweran di berbagai platform media sosial. Apalagi saat ini penggunaan gadget di kalangan anak-anak Indonesia hampir tidak bisa dibendung lagi. “Anak-anak di bawah umur pun saat ini dengan mudah mengakses gadget yang menyediakan berbagai konten negatif. Kehadiran animasi-animasi berkualitas seperti Nussa ini bisa menjadi opsi agar anak-anak kita tidak terjebak dampak negatif banjirnya konten di berbagai platform media sosial,” katanya.
Gus Muhaimin pun memberikan apresiasi terhadap capaian film Nussa yang saat ini tayang di layar bioskop Indonesia. Tingginya antusias penonton menjadi bukti jika produk film dengan kualitas konten bagus dan mendidik masih mempunyai pasar besar di tanah air. “Jadi bisa disimpulkan jika masyarakat kita masih banyak yang peduli dan konsen terhadap produk kreatif terutama film yang digarap dengan bagus dan punya unsur Pendidikan di dalamnya,” katanya.
Gus Muhaimin pun mendorong Pemerintah untuk memberikan proteksi dan subsidi bagi industri kreatif seperti Nussa. “Subsidi dan proteksi khusus untuk industri kreatif saya kira harus terus didorong, khususnya dalam belanja/pengadaan barang yang memang tidak diproduksi dalam negeri,” katanya.
Menurut Gus Muhaimin, industri kreatif memang harus didorong dan disupport oleh pemerintah karena sektor tersebut memiliki peluang dalam teknologi digital sebagai penopang ekonomi nasional, terlebih di tengah himpitan pandemi. "Kemampuan teknologi digital ini memberikan peluang yang sangat luar biasa dalam melakukan bisnis industri kreatif, bahkan semua aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jadi saya mendorong kehadiran, concern dan support pemerintah untuk sektor industri kreatif itu," jelas Gus Muhaimin.
CEO Nussa, Aditya Triantoro kepada Gus Muhaimin manajemen Nussa menyatakan Film Nussa berhasil mendapatkan lebih dari 100 ribu penonton selama 11 hari. Angka tersebut menjadi capaian yang terbilang baik sebab kapasitas penonton dibatasi demi menerapkan protokol kesehatan yang sangat berpengaruh pada jumlah penonton.
Film ini mendapat sambutan hangat dari penonton ketika tayang di bioskop Indonesia. Tiket film animasi ini terjual habis di sejumlah bioskop di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Yogyakarta pada penayangan hari pertama. Hingga hari ini, film tersebut sudah ditonton lebih dari 270 ribu orang. “Tantangannya memang di produksi yang cukup mahal pak. Kalau dirinci satu komputer ditambah software editor animator itu sampai Rp. 1 miliar. Itu belum seberapa kalau sampai tayang ke layar lebar, biaya produksinya bisa mencapai Rp.25 miliar,” ungkap Aditya.