REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengemudi kendaraan perlu memperhatikan beberapa faktor penting ketika melaju di jalan tol. Utamanya saat berada di lintasan panjang, seperti rute Jakarta-Surabaya.
"Kesalahan kecil di jalan tol dapat mengakibatkan kecelakaan fatal, bahkan dapat merenggut korban jiwa," kata Direktur Training & Campaign IndonesiaRoad Safety Partnership Eko Reksodipuro dalam keterangan tertulisnya, Selasa (9/11).
Faktor paling utama, menurut Eko, pengemudi harus sadar akan batas kemampuannya. Mengemudi di jalan tol tidak sama dengan pembalap di sirkuit yang bebas melakukan manuver dengan kecepatan tinggi.
Jalur cepat, misalnya, bukan jalur untuk dilalui. Itu hanya untuk mendahului, setelah menggunakannya pengemudi harus kembali ke lajur dua atau satu dan itu harus mencapai kecepatan maksimal, katanya.
Eko mencontohkan, sering kali kebiasaan berkendara di tol dalam kota terbawa saat berkendara di tol luar kota, saat pengemudi maunya paling depan sendiri atau cenderung enggan diserobot, sehingga nampak seperti selfish atau mau menang sendiri. Tak jarang pengemudi juga mengalami euforia saat berkendara di luar kota dari dalam kota, sehingga overspeed.
“Padahal, berkendara dengan kecepatan 150 km/jam, sama dengan 150.000 meter/3.600 detik, sementara reaksi mata butuh dua detik untuk mempersepsi dan bereaksi," katanya.
Pada prinsipnya, kata Eko, menyusul secepat mungkin itu tidak berbahaya, asalkan pengemudi sadar untuk kembali ke lajur dua ataupun satu. Dia sangat tidak merekomendasikan untuk terus berada di lajur tiga lantaran akan mengganggu pengguna jalan lain dan berpotensi mengakibatkan kesalahan kecil yang dampaknya tidak dapat diprediksi.
Terkait kelaikan infrastruktur jalan tol, dapat dipastikan telah memenuhi standar yang berlaku, karena setiap fasilitas yang diterapkan di jalan tol telah memperhatikan risiko fatalitas ketika terjadi kecelakaan. Misalnya, pada penerapan pagar pembatas beton pada sisi jalan, atau pagar pemisah di jembatan, yakni untuk memperkecil risiko kendaraan menyeberang ke jalur yang berlawanan.
"Kita harus sadar dengan batas kemampuan diri, dari sisi pengemudi harus sadar dengan batas kemampuannya, karena setiap orang tidak punya kemampuan yang sama, jadi ada awarness," kata Eko.
Menurut dia, pesatnya pembangunan infrastruktur, khususnya jalan tol belakangan kian memudahkan masyarakat beraktivitas, terutama aktivitas yang mengharuskan masyarakat berpindah dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan waktu yang relatif lebih cepat dibanding melintasi jalur konvensional. Menurut catatan, dengan melintasi Tol Trans-Jawa, pengemudi membutuhkan waktu hanya sembilan jam 43 menit untuk menamatkan rute Jakarta-Surabaya dengan rata-rata kecepatan 60-100 km/jam. Sementara uji coba lain harus bersusah payah menempuh waktu 15 jam 41 menit untuk menuju lokasi yang sama melintasi jalur konvensional.
Tentunya, dengan istirahat yang cukup di beberapa pusat pemberhentian. Sayangnya, kata Eko, kemudahan demi kemudahan yang ditawarkan jalan tol tidak dibarengi dengan kesadaran pengemudi akan pentingnya berbagai faktor yang kebanyakan dianggap sepele, di antaranya batas minimal kecepatan, dan imbauan untuk beristirahat di titik-titik tertentu untuk mengurangi masalah konsentrasi yang kebanyakan disebabkan oleh faktor kantuk yang menyerang.
Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Iwan Puja Riyadi, mengungkapkan empat faktor yang kerap menjadi penyebab kecelakaan kendaraan di jalan bebas hambatan atau jalan tol. "Kecelakaan yang terjadi pada umumnya tidak hanya disebabkan oleh satu faktor, melainkan hasil interaksi antarfaktor," kata Iwan dalam keterangan tertulis di Yogyakarta, Senin (8/11).
Empat faktor yang dimaksud Iwan yakni pengemudi, kendaraan, lingkungan jalan, serta cuaca. Faktor pengemudi yang bisa menjadi penyebab kecelakaan, menurut dia, misalnya kondisi pengemudi yang sedang mengantuk, tidak fokus, atau kelelahan, menyetir di bawah pengaruh obat-obatan, narkotika, alkohol, atau menyetir sambil melihat gawai baik telepon genggam atau tablet.
Selain itu, kecelakaan bisa disebabkan pengemudi yang belum menguasai teknik menyetir, atau melakukan kesalahan bereaksi saat menyetir baik panik atau reaksi yang terlalu lambat. "Hal yang penting adalah mengutamakan konsentrasi penuh sang pengemudi sebelum berkendara," ujar Iwan.
Dia mengatakan seorang pengemudi yang berkendara di jalan bebas hambatan harus mampu mengontrol laju kendaraan. Pasalnya, selama ini banyak kecelakaan terjadi lantaran pengemudi melajukan mobilnya melebihi batas kecepatan yang diperbolehkan sehingga kehilangan kendali.
Meski melaju di jalan bebas hambatan, bukan berarti seorang pengemudi bisa bebas melajukan kendaraannya melampaui batas kecepatan yang telah ditentukan. "Batasan tersebut tentunya sudah diperhitungkan agar aman saat dilintasi kendaraan. Jalan tol merupakan jalan bebas hambatan dan bukan jalan di mana pengemudi dengan bebas memacu kecepatan," kata Iwan.
Pengemudi, kata dia, harus menyesuaikan kecepatan kendaraan dengan lajur yang dipilih, serta menggunakan lajur sesuai peruntukannya. Pengendara juga harus bisa memperkirakan dan menjaga jarak aman dengan kendaraan lain agar bisa menghindar jika sewaktu-waktu terjadi kecelakaan di depannya.
Dia juga mengingatkan bahwa bahu jalan di jalan tol tidak diperuntukkan sebagai tempat berhenti atau bahkan beristirahat. Pengemudi tidak seharusnya menepikan kendaraan atau berhenti di bahu jalan jika memang tidak sedang dalam kondisi darurat.
Selain faktor pengemudi, faktor kendaraan seperti kondisi mesin, rem, lampu, ban, serta muatan bisa menjadi penyebab kecelakaan, demikian halnya faktor cuaca berupa kondisi hujan, kabut, atau asap. Di samping itu, terdapat faktor lingkungan jalan yang di antaranya berupa desain jalan seperti median, gradien, alinyemen, dan jenis permukaan, termasuk kontrol lalu lintas seperti marka, rambu, dan lampu lalu lintas.
Untuk mengurangi kejadian kecelakaan, pencegahan dan keselamatan lalu lintas dapat dilakukan melalui beberapa aspek, baik berupa aspek rekayasa, aspek pendidikan, dan aspek hukum. Pada aspek rekayasa, Iwan mengatakan, hal yang bisa dilakukan antara lain penyediaan dan pengembangan tempat istirahat, pemeliharaan jalan dan prasarananya, pemasangan rumble stripe, merapatkan jarak antar guide post, pemasangan marka, pemasangan warning light atau lampu flip flop, pemasangan rambu, dan pembatasan kecepatan.
Mengingat penyebab utama kecelakaan adalah manusia, menurutnya, aspek memperbaiki perilaku pengendara sangat penting yang dapat dimulai dari pendidikan di sekolah, melalui himbauan, dan juga pelatihan. "Ujian keterampilan harus dilakukan di lapangan dan mengerti arti dari rambu-rambu lalu lintas. Surat Izin Mengemudi (SIM) hanya diberikan kepada orang yang benar-benar mampu dan terampil serta santun dalam mengendarai kendaraan, umur sesuai dengan ketentuan, dan kesehatan yang prima," kata Iwan.