REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Masyarakat yang cerdas dan literat dapat diwujudkan dengan adanya kerja bersama dari semua elemen. Itu dapat dimulai dengan membudayakan gemar membaca dapat dari diri sendiri dan keluarga agar nantinya dapat menjadi contoh bagi lingkungan sekitar.
"Untuk menjadikan gemar membaca sebagai budaya harus berawal dari diri sendiri dan keluarga agar kelak mampu menjadi contoh bagi masyarakat sekitar," ungkap Kepala Pusat Analisis Perpustakaan dan Pengembangan Budaya Baca Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Adin Bondar, dilansir dari laman resmi Perpusnas, Ahad (14/11).
Dia menjelaskan, dalam sejarah gerakan membaca dan perliterasian Indonesia, sudah banyak program dan pencanangan yang dilakukan pemerintah dari masa ke masa sampai saat ini. Dari semua itu, kata dia, dapat diketahui setiap pemimpin bangsa memiliki kepedulian dan perhatian besar terhadap kondisi membaca. "Mereka ingin masyarakatnya cerdas dan literat," ujar Adin.
Dia menjelaskan, membaca memiliki posisi serta peran yang sangat penting dalam konteks kehidupan, terlebih di era informasi dan komunikasi kini. Menurut Adin, membaca merupakan jembatan bagi mereka yang ingin meraih kemajuan dan kesuksesan. Karena itu, para pakar bersepakat, kemahiran membaca merupakan prasyarat mutlak bagi siapapun yang ingin memperoleh kemajuan.
“Keluarga, sebagai satuan terkecil dalam ekosistem masyarakat berkewajiban menegakkan disiplin dan semangat membaca anak sejak dini,” ujar dia.
Adin menambahkan, tumbuh kembang kegemaran membaca bisa dikatakan sebagai gambaran awal seberapa tinggi literasi masyarakat di sebuah negara. Keduanya adalah mata rantai yang saling mengait. Akan tetapi, kegemaran membaca seseorang tentu membutuhkan proses panjang dan sarana yang kondusif.
“Proses ini dimulai dari kecil dan dari lingkungan keluarga, lalu dikembangkan di sekolah, dan lingkungan masyarakat,” ungkap Adin.
Sependapat dengan hal tersebut, Ketua Umum Gerakan Pemasyarakatan Membaca (GPMB), Tjahjo Suprajogo, mengatakan, minat baca memang sudah seharusnya ditumbuhkan dari satuan terkecil dalam ekosistem masyarakat yakni keluarga. Kemudian, kata dia, dari keluarga selanjutnya dapat disinergikan dengan banyak pihak.
“Mulai dari keluarga nanti bisa bersinergi dengan banyak pihak, seperti kementerian/lembaga, institusi pendidikan, pemerintahan daerah. Dibutuhkan sinergitas dari banyak pihak dalam mewujudkan gerakan nasional membaca,” jelas Tjahjo.
Duta Baca Indonesia, Gol A Gong, mencontohkan dirinya yang dia nilai “kurang” sempurna namun tetap bisa meraih kesuksesan berkat buku. Dulu, kenang Gol A Gong, orang tuanya selalu mengharuskan dia untuk rajin membaca buku. Di sisi lain ibunya juga selalu membacakan buku setiap hari untuknya. Momen hidup tersebut membuatnya sadar bahwa tidak hanya perut yang harus diisi, namun juga otak.
“Kita juga harus memberi nutrisi ke atas, jangan hanya dari mulut ke perut saja,” tutur dia.
Pengalaman itu juga yang sekarang dia terapkan di keluarganya, Gol A Gong menempatkan buku di setiap sudut rumahnya. Upaya tersebuta dilakukan agar ketika anak-anaknya sudah lelah bermain gadget, mereka bisa beralih ke membaca buku. “Dengan begitu literasi digital tidak dihalangi dan literasi bacanya pun tetap bisa dinikmati oleh anak-anak,” terang Gol A Gong.
Turut berbagi pengalaman, Walikota Tangerang Selatan Tahun 2011-2021, Airin Rachmi Diany, menerangkan, membacakan buku kepada anak bisa lebih mempererat hubungan antar orang tua dan anak, serta juga memberi kesan yang akan terus melekat di benak anak.
“Membacakan buku dengan bahasa yang mudah dimengerti anak bisa mempererat hubungan antar ibu dan anak, daripada mendudukan mereka dan memberi nasihat. Karena itu mungkin hanya akan masuk telinga kanan, keluar telinga kiri,” kata Airin.
Sementara itu dari sisi institusi pendidikan, Kepala SMA Negeri 70 Jakarta, Ratna Budiarti, memaparkan, perpustakaan dan sekolah juga memiliki peran yang sangat strategis dalam meningkatkan minat baca anak. Sebab selain di rumah, anak-anak juga menghabiskan banyak waktu di sekolah.