Ahad 12 Dec 2021 12:46 WIB

Dermawan Bantu Warga Bencana: Antara Esensi dan Eksistensi

Membantu masyarakat yang tertimpa musibah merupakan tugas suci

Red: Agung Sasongko
Gunung Semeru mengeluarkan guguran lava pijar terlihat dari Desa Sumberwuluh, Lumajang, Jawa Timur, Kamis (9/12/2021). Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi meminta warga di sekitar kawasan Gunung Semeru tetap waspada karena potensi erupsi Gunung Semeru masih bisa terjadi.
Foto:

Maksud Lain Membantu Warga

Beberapa status media sosial dan publikasi media daring dalam seminggu terakhir, saya sering melihat postingan saat masyarakat memberikan bantauan kepada warga terdampak bencana.

Dalam beberapa kali postingan foto, seringkali saya melihat sorotan tidak nyaman yang ditunjukkan warga yang akan diberi bantuan. Saat mereka diberi bantuan, namun diajak (atau dipaksa?) untuk berfoto bersama sebagai bukti bahwa donasi telah diberikan. 

Tidak ada yang salah dalam proses tersebut, namun, warga yang diajak foto bersama, seakan dipaksa untuk foto sesuai keinginan pemberi bantuan. Di media pun kemudian dieksploitasi sedemikian rupa, “dijual” penderitaannya untuk disampaikan kepada masyarakat secara luas, bahwa ada si miskin yang harus dibantu, dan sang penolong adalah malaikat yang hadir membantu.

Alih-alih ingin meringankan beban warga yang dibantu, nyatanya malah memberikan penderitaan bertambah bagi masyarakat yang dibantu. Masyarakat yang dibantu pun memiliki kesedihan dua kali: sedih karena mendapatkan bencana, sedih dirinya dijual penderitaannya.

Gerakan esensi yang bermula bertujuan dermawan, justru menimbulkan gerakan yang berpusat sekadar eksistensi. Memberikan bantuan, berfoto bersama, menjualnya ke media sosial. Menjadi hero atas musibah orang lain.

Dalam dunia jurnalisme kebencanaan, ada etika yang perlu diperhatikan agar peliputan yang ditulis bukan sekadar mengejar sisi dramatis dari bencana, namun lebih kepada memberikan eduksi kepada masyarakat, memberikan pengharapan hidup, dan menggali informasi tentang sebab jatuhnya banyak korban sehingga bisa jadi pelajaran untuk perbaikan di masa mendatang.

Saat ini, banyak masyarakat yang sudah memiliki smartphone untuk melaporkan kegiatan dermawannya kepada publik di media sosialnya masing-masing dengan tambahan tulisan yang diinginkannya. Sehingga sebagaimana layaknya mengabarkan jurnalisme kebencanaan, perlu diperhatikan agar masyarakat yang dibantu tidak sekadar menjadi objek karena musibah yang menimpanya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement