REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, pihaknya sudah sepakat menjadikan rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi usul inisiatif DPR. Namun, penetapannya masih harus menunggu hasil rapat badan musyawarah (Bamus) DPR.
"Bahwa ada lebih segera mungkin diadakan rapat konsultasi pengganti Bamus. Saya sudah mendengar itu, tetapi apakah jadi atau tidak (penetapan RUU TPKS) tergantung kepada Bamus sendiri soal itu," ujar Supratman di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (15/12).
Jika RUU TPKS tak diparipurnakan sebagai usulan inisiatif DPR, prosesnya kemungkinan akan dilakukan pada masa sidang berikutnya pada awal 2022. Namun, hal tersebut bukan berarti bahwa lembaga legislatif itu tak memprioritaskan RUU tersebut.
"Nanti pada saat pembukaan masa sidang yang akan datang. Jadi baru bisa dilaksanakan karena surat ke presiden kan wajib usulan inisiatif itu wajib merupakan keputusan rapur," ujar Supratman.
Jika sudah diparipurnakan menjadi usulan DPR, parlemen akan mengirimkan surat kepada presiden untuk meminta pemerintah untuk membahas RUU TPKS. Setelah itu, pemerintah akan menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) dari RUU tersebut.
"Yang pasti bahwa begitu surpres dan DIM dari pemerintah kita terima, Baleg akan segera melakukan rapat lagi dengan pemerintah," ujar politikus Partai Gerindra itu.
Aliansi Pekerja Buruh Garmen Alas Kaki dan Tekstil Indonesia (APBGATI) mendesak pengesahan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pengesahan untuk melindungi perempuan, anak perempuan, dan laki-laki dari kekerasan seksual serta menjauhkannya dari kriminalisasi atas kekerasan seksual.
"Negara wajib memastikan tidak ada lagi korban kekerasan seksual yang tidak terlindungi sehingga membutuhkan penanganan terpadu dan komprehensif, pelaku dihukum dan tidak ada lagi hak-hak korban yang dilanggar. Untuk itu kami menyatakan dan mendorong Bamus sebagai alat kelengkapan Dewan untuk menjadwalkan pengesahan RUU TPKS dalam agenda sidang Paripurna DPR RI pada 15 Desember 2021," kata Anggota APBGATI Kustiah dalam konferensi pers APBGATI-GNP-Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa (14/12).
Baca Juga:
- Ini Langkah Menag Cegah Kekerasan Seksual di Pesantren
- KPPPA Kawal Proses Hukum Kekerasan Seksual Santri di Musi Rawas
- Marak Kejahatan Seksual, Berbagai Pihak Dorong RUU TPKS Segera Disahkan
APBGATI pun mengapresiasi pemerintah yang telah membentuk Gugus Tugas lintas kementerian/ lembaga untuk mempercepat pembahasan RUU TPKS. "Mengapresiasi pemerintah telah membentuk Gugus Tugas lintas kementerian/ lembaga untuk mempercepat pembahasan RUU TPKS dan merekomendasikan kepada pemerintah untuk melibatkan lembaga HAM independen seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI dan LPSK sebagai bagian dari Gugus Tugas," tambah Kustiah.
Rapat Pleno Baleg DPR RI menyetujui RUU TPKS menjadi inisiatif DPR pada Rabu (8/12). Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Pleno Baleg setelah mendengarkan pendapat sembilan fraksi.
Dua dari sembilan fraksi menolak hal tersebut, yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Baleg juga telah bersurat kepada pimpinan DPR agar draf RUU TPKS yang telah disahkan dapat diparipurnakan sebagai RUU usul inisiatif DPR.
Komnas Perempuan mengapresiasi langkah maju Badan Legislatif DPR RI yang telah menyetujui RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) ke tahap berikutnya dengan mempertahankan substansi keberpihakan terhadap hak korban kekerasan seksual khususnya pemenuhan hak korban atas perlindungan, keadilan, dan pemulihan. Dalam catatan perjalanan ke berbagai daerah, Komnas Perempuan menemukan sulitnya upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual yang marak akhir-akhir ini.
Bahkan, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dua kali mencapai 4.500 kasus hingga September 2021 dibanding tahun 2020. Andy mengatakan, kriminalisasi masih terjadi terhadap penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual pada tahun 2021.
"Peningkatan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan tidak dapat ditangani dengan baik karena tidak sebanding dengan kapasitas penanganan," kata Andy.
Menurutnya, darurat kekerasan seksual bukan hanya persoalan peningkatan angka kekerasan seksual maupun soal kompleks dan semakin ekstrimnya kasus tetapi justru karena daya penanganannya yang belum memadai di seluruh wilayah. "Kesulitan perempuan korban untuk mendapatkan keadilan inilah menjadi dasar pemikiran RUU TPKS," tambahnya.